Aku
membuka kelambu dan masuk kedalam kenyamanan kasurku. Memejamkan mataku, merasa
dikuasai oleh rasa lelah setelah seharian mendampingi Hades. Lamarannya
berputar di kepalaku berkali kali.
Hades
bukan pria yang baik untuk semua orang. Jiwanya sudah segelap Tartarus,
begitulah kabar burung yang beredar. Tak pernah dia berbelas kasih kepada roh
roh yang datang ke Underworld. Egois
dan tak berperasaan. Dia menculikku, dan menebar pesonanya padaku hingga aku
terjerat. Dan aku tak bisa menghindar dari perangkapnya yang manis ini.
Aku
terus bergelung dalam kasurku, memikirkan matang matang semua pilihan yang ada.
Dan ternyata, yang ada hanyalah tak-ada-pilihan. Memang benar kata Hades, ibuku
jelas akan menolak bila ia datang kepadanya dan mengatakan ingin menikahiku,
tapi itu kan yang selalu di lakukan ibuku kepada setiap pria yang mendekatiku?
Jadi buat apa aku memikirkan pendapat ibuku?
“..Berhentilah
memikirkan pendapat orang lain, bahagiakanlah dirimu sendiri terlebih dahulu”
Kata
kata Hades terngiang di benakku. Selama ini aku bahagia bersama ibuku. Dia
memberi segala yang aku mau, kecuali cinta dari lawan jenis. Ia ingin agar aku
selalu menjadi miliknya. Dan Hades menawarkan kebahagiaan yang aku dambakan
itu, dengan penuh resiko tentu.
Cintakah
aku padanya? Ya, aku mencintainya. Sejujurnya aku bahagia di sini, bersamanya.
Mulut pembualku awalnya mengatakan kalau aku tak yakin aku akan bahagia di
sini. Semakin bergulirnya waktu, aku semakin tak yakin kalau aku tak bisa
bahagia di sini.
Aku
seperti memiliki dua kepribadian dan dua jiwa dalam satu tubuh. Dilema antara
tetap tinggal atau kembali, yang menyiksaku semakin dalam.
“Aku tak akan
membiarkan hal itu terjadi.”
Hades
tak akan membiarkanku menolak lamarannya atau melepaskanku ke upperworld. Membuat harapanku dapat
kembali semakin sempit. Menjalin hubungan dengannya sebagai kekasih tak sesulit
menjadi pengantin abadinya. Haruskah aku korbankan kemerdekaanku atas upperworld demi dapat berdampingan
dengan pria yang aku cintai?
“Bodohkah
aku yang hanya berusaha menjagamu agar tetap di sisiku?” Hades memejamkan matanya
dan menarik nafas pelan, meresap aroma rambutku perlahan dari balik punggungku.
Aku masih memainkan jariku di rambutnya, menikmati hela nafasnya di tiap helai
rambutku. Kita terlihat seperti tanaman rambat yang sedang melilit satu sama
lain, enggan saling melepaskan.
“Caramu
yang aku sesalkan. Secara teknis aku ini kekasihmu, tak bisakah kita saling
terbuka dan mengatakan hal apa adanya, semacam ‘Hai Persephone, bagaimana kalau
kita menengok ibumu yang sedang sekarat menantimu’? atau apa pun yang kau mau,
terserah padamu. Tapi jangan bersikap kekanakan dengan menyimpan semua rahasia
seorang diri.” Aku menggumam.
“Aku
tidak berjanji aku akan membocorkan semua rahasiaku kepadamu. Kecuali kau
memenuhi satu syaratku” Hades berkata dengan datar sambil terus menyisir
jarinya di antara jalinan rambutku.
Aku
memutar bola mataku dengan sengaja, bahkan aku harap Hades melihatnya. “Apa
yang kau mau?” Aku mendesah, ini lebih mirip menjalin hubungan dengan
seorang anak kecil yang tidak mau kalah
dan menyebalkan ketimbang dengan penguasa dunia kematian.
“Aku
tahu kau memutar bola matamu, kau akan dapat hukumamu nanti.” Hades
mengencangkan satu tangannya yang berada di pinggangku.
“Aku
tak peduli dengan hukuman darimu. Beritahu saja apa syaratmu, Hades?”
Mulutnya
melengkung ke atas, hingga matanya sedikit menyipit, “Menikahlah, denganku.”
Hades berdiri tegak di bibir sungai Acheron,
anak sungai Styx yang mengalir langsung di sisi istana Hades. Hening dan hanya
ada suara gemericik merdu suara aliran air sungai ini. Gemericik suaranya
seperti melodi sendu, sesuai dengan julukan sungai kesedihan yang tersemat pada
sungai ini. Aku mendekatinya, berdiri di belakang punggungnya yang menjulang.
Uuugh,
ada apa ini? Kenapa rasanya sangat sempit dan sesak? Tidak lagi nyaman untuk
tidur, dan aku rasa sudah tercukupi kebutuhanku akan tidur yang lelap. Aku
membuka mataku dan memutar kepalaku kebelakang. Hades masih terlelap di balik
punggungku sambil memelukku. Pantas saja begini sesaknya, dia memelukku seperti
aku adalah kado ulang tahun pertamanya seumur hidup. Begitu erat dan posesif,
melingkarkan kedua tangannya di atas perutku.
Aku
melepas kedua tangannya, kemudian membalik tubuhku perlahan, agar tidak
membangunkannya. Suara nafasnya teratur dan tenang, wajahnya yang pucat
terlihat datar, cenderung kekanankan. Jantungku mulai berdetak aneh dan
menimbulkan perasaan nyeri yang nikmat keseluruh tubuhku. Aku tergoda untuk
menelusuri wajahnya dengan ujung jemariku. Kuletakkan jari telunjukku ditulang
pipinya. Bergerak perlahan berpindah menuju hidungnya, dan kembali ke kelopak
matanya. Alisnya hitam lebat seperti rambutnya, dahinya seperti pualam. Tidak
ada lagi kerutan disana seperti biasa. Kupindah jemariku menelusuri kembali
tulang hidungnya, menuju bibir merahnya. Bibir itu sedikit membuka saat aku
meletakan jariku di atasnya. Lembut dan ada kehangatan disana. Bibir yang
dengan kurang ajarnya pernah mencuri ciuman pertamaku. Aku melepas jemariku
dari wajahnya, tapi tak kulepas pandanganku dari wajahnya.
Sejak kejadian kemarin aku berusaha untuk tidak berpapasan atau bertemu
dengan Hades. Menghindarinya sebisa mungkin, sejauh mungkin. Belum tampak
keberanianku untuk menghadapi daya pikat yang ada di mata dan wajahnya. Hidung
dan dagunya. Oh, dan bibirnya. Hmm. Ku usir semua bayang peristiwa memalukan
kemarin saat dia menciumku. Benar benar membuat perutku terasa berisi jutaan
kupu-kupu.
Aku melamun sambil berkeliling di istana seorang diri. Benar benar suram
tempat ini, walau begitu tetap terlihat kemegahan di setiap sudut dan guratan
di dinding istananya. Langkahku terhenti di salah satu pintu yang terlihat
berbeda dari pintu-pintu yang lain. Daun pintunya terbuat dari kayu yang tampak
sangat kuat dan mengkilat. Berwarna kecoklatan dan berornamen klasik. Pahatan
daun zaitun menghiasi pinggiran pintu ini. Sederhana tapi tetap memiliki nilai
keindahan tersendiri. Gagang pintu ini berwarna keemasan, berbentuk lengkung
dengan luwesnya. Penasaran, aku membuka pintu ini perlahan. Suara berderit
pelan memecah keheningan.
Aku
terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Di meja samping sudah
tersedia anggur di cawan dan beberapa buah buahan. Aku lapar tapi aku menahan
diri. Aku tahu, ini adalah makanan dunia bawah tanah. Bila aku memakannya maka
selamanya aku tak akan bisa kembali ke dunia atas. Itu yang ibuku pernah
ceritakan padaku. Aku hanya mengambil anggur tersebut dan meminumnya sampai
habis. Kini perasaanku jauh lebih tenang.
Aku
membuka mataku perlahan. Dan yang pertama kulihat adalah kelambu berwarna
transparan di atas kepalaku. Demi Gaia, di mana aku sekarang? Aku ingin bangun
tetapi badanku terlalu lemas.
Aku
memperhatikan sekelilingku dari balik kelambu. Aku berada di suatu ruangan yang
mungkin bisa disebut dengan kamar. Tempat ini remang remang karena hanya ada
beberapa batang lilin berpendar dimeja dekat kasur dimana aku berbaring. Ada
perapian didekat pintu namun tidak menyala dan hanya menyisakan beberapa onggok
kayu bakar. Ada satu meja lagi di dekat perapian itu. Cermin besar bergabung
bersama meja tersebut, sehingga nampak seperti meja untuk bersolek. Ada juga
lemari yang cukup besar dan memiliki ukiran yang sangat rumit. Terlihat sangat
megah dan mewah. Namun, secara keseluruhan, ruangan ini gelap dan suram.
Seperti telah lama tidak dihuni.
Saat
aku sedang mengedarkan pandangan mataku kesekeliling ruangan ini, tiba tiba
pintu di ketuk dengan lembutnya. Jantungku melonjak. Astaga, siapa itu?
Penculikku kah?
Ini
benar benar hari yang sempurna untuk menikmati indahnya bumi. Sinar matahari
sedang terasa begitu cerah. Pasti Helios sedang memiliki mood yang baik pagi
ini. Kereta kencana emasnya telah diperbaiki oleh Hephaistos. Keretanya patah
di bagian roda karena dipermainkan oleh beberapa Nimfa nakal. Hampir saja
kereta itu ‘pensiun’ dari pekerjaannya sehari hari, mengantar Helios memandu
matahari mengelilingi Gaia, sang bumi. Tak bisa dibayangkan bagaimana jika
kereta kencana Helios benar benar tidak dapat digunakan lagi. Habislah dunia
ini.
Aku
berhenti melamunkan soal kereta kencana milik Helios dan mulai berjalan keluar
dari kamar dan mengambil segelas air serta beberapa sendok madu di meja dapur.
Lezat seperti biasa. Hmm. Bosan rasanya di rumah. Aku berjalan menuju jendela
dan membukanya lebih lebar. Angin segar langsung meniup ramput di dahiku.
Sepertinya akan menyenangkan kalau berjalan disekitar rumah. Aku berjalan
menuju pintu depan rumah.