Underworld (Chapter 3)
Aku
terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Di meja samping sudah
tersedia anggur di cawan dan beberapa buah buahan. Aku lapar tapi aku menahan
diri. Aku tahu, ini adalah makanan dunia bawah tanah. Bila aku memakannya maka
selamanya aku tak akan bisa kembali ke dunia atas. Itu yang ibuku pernah
ceritakan padaku. Aku hanya mengambil anggur tersebut dan meminumnya sampai
habis. Kini perasaanku jauh lebih tenang.
Apa
selanjutnya?
Aku beringsut turun dari ranjang secara perlahan. Aku berjalan gontai menuju meja dan mulai bercermin. Betapa hancurnya penampilanku. Aku mengambil sisir yang tersedia di meja dan mulai mengatur rambutku. Setelah selesai aku mulai menyadari aku mulai tidak nyaman dengan pakaianku. Sangat kotor dan kusut.
Aku
membuka lemari berharap menemukan pakaian yang layak. Dan yang kutemukan bukan
sekedar layak. Semua pakaian yang tersedia di sini sangat mewah dan jelas bukan
berasal dari sembarang penenun. Apakah Hades meyiapkan semua ini untukku?
Terlalu sekali dia.
Aku
mengambil pakaian yang memiliki warna paling cerah dan memakainya tanpa melihat
modelnya. Ini pas sekali. Bagaimana ia bisa tahu ukuran pakaianku? Apa dia
mengukur tubuhku saat aku tertidur? Geli sekali aku membayangkannya. Tidak,
tidak, tidak. Ia tidak akan melakukan hal itu.
Aku
memberanikan diri untuk berjalan keluar dari kamar. Aku membuka pintu dan yang
pertama kulihat adalah lorong suram berkarpet merah. Sangat sepi, seperti tak
ada kehidupan disini. aku berjalan mengikuti lorong. Aku tak menemukan siapapun
sepanjang lorong. Aku menjadi sedikit ketakutan. dari kejauhan terlihat cahaya
yang dihasilkan oleh pendar lilin dari sebuah ruangan. Aku berjalan mendekati
ruangan itu.
Ternyata
ini adalah sebuah aula yang cukup besar. Lantainya memiliki motif hitam putih
berbentuk kotak kotak. Lampu lilin besar tergantung di atas ruanagn. Di depan
aula ini terdapat singgasana. Aku yakin itu pastilah singgasana Hades. Apa yang
biasa dia lakukan di ruangan ini?
“Apa
kau menikmati perjalanan kecilmu, Persephone?”
Aku
melonjak kaget. Aku tak merasakan kalau sedari tadi Hades mengikuti ‘tour’
kecilku. Dia berdiri tepat di belakangku, hanya berjarak setengah meter.
“Maafkan
aku, Hades. Aku tak bermaksud lancang mengelilingi istanamu.”
“kau
tak begitu galak seperti kemarin saat kau mengatakan kau membenciku. Apakah
anggur itu memeprbaiki moodmu?”
“sejujurnya,
ya, aku menjadi sedikit lebih tenang setelah minum anggur yang kau sediakan.
Terimakasih untuk itu. Dan juga semua gaun yang terdapat di lemarimu. Aku akan
mengembalikannya nanti.”
“sudah
tak usah kau fikirkan. Sebentar lagi semua ini akan menjadi milikmu juga.”
Apa?
Bagaimana bisa? Aku menatapnya dengan tatapan bingung seperti idiot.
“sudah
pernah aku katakan, aku akan berikan semuanya untukmu. Kau akan kujadikan ratu
di kerajaanku ini, Persephone. Semua yang ada di sini pada akhirnya akan tunduk
pada kekuasaanmu..”
“Tunggu
tunggu, menjadi ratu di kerajaanmu? Apa maksudmu?”
“Aku
akan melamar dan menikahimu.”
“Dan
memberikanku hampir seluruh bagian kerajaanmu?”
“Aku
akan memberimu segalanya.”
Ini
sungguh menggelikan. Dasar dewa gila yang sakit jiwa.
“Apa
kepalamu baru terbentur sesuatu?”
“Tidak.
Kenapa?” Dia terlihat bingung.
“Kau
pasti terbentur sesuatu baru baru ini. Kau menjadi lebih ‘tidak waras’ dari
saat kita terakhir bertemu kemarin.”
“Apa
melamarmu itu menandakan bahwa aku seseorang yang tidak waras?”
“Untuk
kondisi seperti ini, aku bertaruh kau lebih dari sekedar tidak waras.”
“Terserah
apa katamu.” Hades tersenyum simpul.
“Berapa
umurmu, Hades?”
“25
tahun. Tapi aku sudah cukup lama berusia 25 tahun. Kau mengerti maksudku.”
Aku tersenyum sekilas. “Aku punya banyak
pertanyaan yang ingin aku ajukan kepadamu.”
“Tanyakanlah.”
“Aku
akan memulai dari pertanyaan mudah dahulu. Bagaimana kau bisa menemukanku di
Lembah Nysa? Apa yang sedang kau lakukan di sana?”
Hades
terdiam sesaat. Aku menunggunya, dan akhirnya dia bercerita, “kau tahu, Para dewa mengurung para raksasa di bawah Gunung Etna. Para raksasa ini
terus memberontak dan berusaha keluar
dari kurungan mereka sehingga menyebabkan gempa bumi. Aku, khawatir ulah para
raksasa itu akan menyebabkan dunia bawah rusak, sehingga menyebabkan adanya
celah yang terbuka pada dunia atas. Oleh karena itu aku keluar dari dunia bawah untuk melakukan
patroli dengan keretaku.
Ketika aku sedang berpatroli tiba-tiba sudut mataku
melihat sosokmu yang sedang memetik bunga dengan pada Okeanid itu. Aku terpikat
denganmu, sejak aku melihatmu aku tak mau melepasmu lagi, Persephone. Suaramu.
Gerakan anggunmu. Bahkan aromamu.
Begitu menggelitik jiwaku. Kau terlalu menggoda untuk dilewatkan, Persephone.
Aku memujamu.”
“Kau
tak tahu bagaimana cara mencintai seseorang dengan benar. Tapi kau sudah berani
mengatakan betapa kau menginginkanku. Itu tidak masuk akal.”
“Tak
pernahkah seseorang mengatakan padamu, bahwa cinta membutakan logika?”
“Aku
yakin aku pernah mendengar itu jauh
di masa lalu.”
“Gadis
pintar. Lanjutkan saja pertanyaanmu.”
“Aku
ingin tahu ruangan apa ini.”
Hades
tersenyum. “Ini tempatku mengatur segala sesutau yang ada di Tartarus. Aku
menjaga agar tidak ada arwah yang berusaha kabur dan keluar dari tempat ini.
Aku menghukum mereka yang membangkang dan
tak mentaati ketentuan takdir yang berlaku atas tubuh mereka. Aku mengadili roh roh manusia bersama Minos, Aiakos dan Rhadamanthis, Tiga Hakim Dunia
Bawah. Menentukan tempat para roh yang seharusnya. Apakah mereka harus
menjalani penyiksaan. Atau mereka akan hidup damai disini. Tergantung pada apa yang sudah mereka perbuat di dunia
atas. Aku berusaha seadil mungkin terhadap mereka.”
Aku terdiam mencerna setiap definisi tugas yang ia emban
seharinya. Ada kesunyian membentang diantara kita selama beberapa waktu. Hades
terus memandangiku. Menelanjangi mataku, menyelidiki apa yang tengah aku
pikirkan. Aku menghembuskan nafas dengan pelan. Hades mengangkat alisnya.
“Apa kau merasa kelelahan?”
“Tidak. Apa aku terlihat lelah?”
“Kau terlihat sempurna.”
Aku memutar bola mataku.
“Kau tahu, memutar matamu dihadapanku itu sangat tidak
sopan, sayang.”
“Aku tidak peduli.” Aku menahan keinginanku untuk
menjulurkan lidahku seperti anak kecil.
“Terserah padamu. Sekarang mari kita lanjutkan saja
wawancara kecilmu ketempat yang lebih nyaman.”
Hades
mundur beberapa langkah dariku. Tangannya terangkat dan jemarinya berputar
beberapa kali. Kabut hitam muncul dari lantai, berpusar pelan selama beberapa
saat. Saat kabut menipis, yang muncul adalah sebuah kursi singgasana. ia
terlihat begitu empuk dan menggoda untuk di duduki seharian penuh. Tak kalah
mewah dengan singgasana milik Hades yang berada tepat di sebelah singgasana
baru itu.
“Silahkan,
duduklah. Aku pasti akan sangat menikmati perbincangan dengan dewi secantikmu.”
“Berhentilah
merayuku, Hades.”
Hades
mengangkat bahu. Aku berjalan menuju singgasana baru yang dia ‘munculkan’ dari
lantai ini. Dan dia duduk di singgasana miliknya.
“Ini
pertanyaan penting, Hades. Tolong jawab dengan jujur.”
“Selama
aku mampu aku akan mengusahakannya.”
“Apa
aku masih bisa keluar dari Tartarus? Aku ingin kembali kepada ibuku.”
“Kau
masih dapat keluar dari sini. Tapi hanya aku yang bisa mengantarmu ke dunia
atas, karena aku memiliki tongkat kerajaan untuk menciptakan jalan antara dunia
bawah dengan dunia atas. Dan kau tahu aku tak akan melakukan itu. Aku terlalu
lemah untuk kehilanganmu.”
“Kau
sungguh naif.”
“Aku
tahu. Lanjutkan saja pertanyaanmu.”
“Seperti
apa rasanya menjadi penguasa tunggal Tartarus?” Pertanyaan bodoh. Tentu saja
dia sangat menikmati menjadi penguasa segalanya.
“Aku
merasa berkuasa atas semua jiwa yang ada di atas dunia, karena pada akhirnya
mereka semua akan menjadi bagian dari kerajaanku. Tapi semua yang ada dibawah
langit maupun yang berada di atas langit menjadi takut bahkan membenci kehadiranku.
Identitasku sudah terlamapu jelek dimata mereka semua. Aku sangat kesepian.Lama
di Tartarus membuatku menjadi mati rasa dan acuh kepada dunia. Aku jarang berada di Olympus. Setiap manusia yang
melakukan upacara untukku pasti akan memalingkan wajahnya karena benci ataupun
segan. Aku terkadang membenci diriku sendiri yang tak bisa menjadi sehebat
saudaraku yang lain.” Dari matanya aku tahu dia mengatakan yang sejujurnya,
awalnya tepat seperti dugaanku. Tapi aku melihat ada binar kebosanan yang
menghiasi mata hitamnya. Dia membuka mulutnya dan melanjutkan pembicaraannya,
“Tapi
itu tak akan lama lagi. Kau akan mendampingiku di sini. Kita akan menguasai
Tartarus bersama sama, Persephone”
“Jangan
banyak berharap, Hades. Aku bukan tipe wanita yang dapat dengan mudah menerima
cinta seseorang hanya karena sogokan jabatan dan pangkat. Aku tak dapat dengan
mudah di taklukan, Hades.”
Hades
mengelus dagunya yang tak berjanggut sambil tersenyum kaku dan matanya menatap
nyalang padaku. Oh, tidak.
“Jadi,
kau tak mudah ditaklukan, nona? Kau sungguh menantang, Persephone.”
“Jangan
dekati aku, atau kupatahkan hidungmu itu.”
“Wah,
apakah kau tak tahu, nona. Lelaki sejati bila di tantang justru akan semakin
penasaran, tak terkecuali dewa seperti aku.”
“Kau
tidak tampak seperti lelaki sejati. Kau menculikku dan tidak mendekatiku secara
baik bak. Kau mengurungku di tempat surammu ini, tidak memperbolehkanku kembali
keduniaku. Mengasingkanku. Apa itu sikap seorang laki laki, Hades? Bukan. Kau.
Bukan. Pria. Sejati. Hades.” Mataku menyipit saat mengatakan ini.
Tiba tiba Hades bangkit dari singgasananya. Menghadapku
dan menarik lenganku. Dia mengunci tubuhku dan memelukku dengan erat. Dia
menangkup wajahku dan menempelkan bibir basahnya kepada bibirku. Dia menciumku,
bukan dengan nafsu menggelegak namun dengan bayang bayang keputus-asaan. Rasa
kaget menjalari tubuhku. Ini ciuman pertamaku. Sensasinya bergelora dari
tengkuk dan menjalar ke tulang belakangku. Aku mulai menyukai cara bibirnya
bermain diatas bibirku. Aku hanyut dalam setiap gerakannya.
Ia
melepaskan bibirnya. Matanya terpejam dan ada sedikit rona di pipinya.
“Kau
tahu, Persephone. Ini benar benar ciuman pertama yang menyenangkan. Tapi
mungkin kita bisa melakukan ciuman yang lebih baik dari ini.”
“Kenapa
kau menciumku dengan tiba tiba?” Aku bertanya dengan nada menuntut.
“Kau
terlihat sangat menggemaskan saat marah padaku. Aku tak kuasa melihat lekuk
bibirmu. Begitu.. memabukkan.”
“Jangan
pernah lagi menciumku. Atau kujahit bibirmu itu dengan kedua tanganku sendiri.”
“Aku
pikir kau juga menikmatinya?” Matanya menyelidik ke wajahku.
Aku
berusaha menyembunyikan rona merah di pipiku. “Jangan besar kepala dulu, Hades.
Aku tak menikmatinya. Sama sekali.”
“Suatu
hari kau akan memintaku mengecup bibirmu. Aku yakin itu.”
“Terlalu
banyak berharap bisa mengacaukan hidupmu, Hades.”
“Aku
tidak peduli.”
*****
To be continued :)
0 komentar
Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar :)