Underworld (Chapter 3)

by - 18.14.00


Aku terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Di meja samping sudah tersedia anggur di cawan dan beberapa buah buahan. Aku lapar tapi aku menahan diri. Aku tahu, ini adalah makanan dunia bawah tanah. Bila aku memakannya maka selamanya aku tak akan bisa kembali ke dunia atas. Itu yang ibuku pernah ceritakan padaku. Aku hanya mengambil anggur tersebut dan meminumnya sampai habis. Kini perasaanku jauh lebih tenang.
Apa selanjutnya?

Aku beringsut turun dari ranjang secara perlahan. Aku berjalan gontai menuju meja dan mulai bercermin. Betapa hancurnya penampilanku. Aku mengambil sisir yang tersedia di meja dan mulai mengatur rambutku. Setelah selesai aku mulai menyadari aku mulai tidak nyaman dengan pakaianku. Sangat kotor dan kusut.
Aku membuka lemari berharap menemukan pakaian yang layak. Dan yang kutemukan bukan sekedar layak. Semua pakaian yang tersedia di sini sangat mewah dan jelas bukan berasal dari sembarang penenun. Apakah Hades meyiapkan semua ini untukku? Terlalu sekali dia.
Aku mengambil pakaian yang memiliki warna paling cerah dan memakainya tanpa melihat modelnya. Ini pas sekali. Bagaimana ia bisa tahu ukuran pakaianku? Apa dia mengukur tubuhku saat aku tertidur? Geli sekali aku membayangkannya. Tidak, tidak, tidak. Ia tidak akan melakukan hal itu.
Aku memberanikan diri untuk berjalan keluar dari kamar. Aku membuka pintu dan yang pertama kulihat adalah lorong suram berkarpet merah. Sangat sepi, seperti tak ada kehidupan disini. aku berjalan mengikuti lorong. Aku tak menemukan siapapun sepanjang lorong. Aku menjadi sedikit ketakutan. dari kejauhan terlihat cahaya yang dihasilkan oleh pendar lilin dari sebuah ruangan. Aku berjalan mendekati ruangan itu.
Ternyata ini adalah sebuah aula yang cukup besar. Lantainya memiliki motif hitam putih berbentuk kotak kotak. Lampu lilin besar tergantung di atas ruanagn. Di depan aula ini terdapat singgasana. Aku yakin itu pastilah singgasana Hades. Apa yang biasa dia lakukan di ruangan ini?
“Apa kau menikmati perjalanan kecilmu, Persephone?”
Aku melonjak kaget. Aku tak merasakan kalau sedari tadi Hades mengikuti ‘tour’ kecilku. Dia berdiri tepat di belakangku, hanya berjarak setengah meter.
“Maafkan aku, Hades. Aku tak bermaksud lancang mengelilingi istanamu.”
“kau tak begitu galak seperti kemarin saat kau mengatakan kau membenciku. Apakah anggur itu memeprbaiki moodmu?”
“sejujurnya, ya, aku menjadi sedikit lebih tenang setelah minum anggur yang kau sediakan. Terimakasih untuk itu. Dan juga semua gaun yang terdapat di lemarimu. Aku akan mengembalikannya nanti.”
“sudah tak usah kau fikirkan. Sebentar lagi semua ini akan menjadi milikmu juga.”
Apa? Bagaimana bisa? Aku menatapnya dengan tatapan bingung seperti idiot.
“sudah pernah aku katakan, aku akan berikan semuanya untukmu. Kau akan kujadikan ratu di kerajaanku ini, Persephone. Semua yang ada di sini pada akhirnya akan tunduk pada kekuasaanmu..”
“Tunggu tunggu, menjadi ratu di kerajaanmu? Apa maksudmu?”
“Aku akan melamar dan menikahimu.”
“Dan memberikanku hampir seluruh bagian kerajaanmu?”
“Aku akan memberimu segalanya.”
Ini sungguh menggelikan. Dasar dewa gila yang sakit jiwa.
“Apa kepalamu baru terbentur sesuatu?”
“Tidak. Kenapa?” Dia terlihat bingung.
“Kau pasti terbentur sesuatu baru baru ini. Kau menjadi lebih ‘tidak waras’ dari saat kita terakhir bertemu kemarin.”
“Apa melamarmu itu menandakan bahwa aku seseorang yang tidak waras?”
“Untuk kondisi seperti ini, aku bertaruh kau lebih dari sekedar tidak waras.”
“Terserah apa katamu.” Hades tersenyum simpul.
“Berapa umurmu, Hades?”
“25 tahun. Tapi aku sudah cukup lama berusia 25 tahun. Kau mengerti maksudku.”
 Aku tersenyum sekilas. “Aku punya banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan kepadamu.”
“Tanyakanlah.”
“Aku akan memulai dari pertanyaan mudah dahulu. Bagaimana kau bisa menemukanku di Lembah Nysa? Apa yang sedang kau lakukan di sana?”
Hades terdiam sesaat. Aku menunggunya, dan akhirnya dia bercerita, “kau tahu, Para dewa mengurung para raksasa di bawah Gunung Etna. Para raksasa ini terus  memberontak dan berusaha keluar dari kurungan mereka sehingga menyebabkan gempa bumi. Aku, khawatir ulah para raksasa itu akan menyebabkan dunia bawah rusak, sehingga menyebabkan adanya celah yang terbuka pada dunia atas. Oleh karena itu aku  keluar dari dunia bawah untuk melakukan patroli dengan keretaku.
Ketika aku sedang berpatroli tiba-tiba sudut mataku melihat sosokmu yang sedang memetik bunga dengan pada Okeanid itu. Aku terpikat denganmu, sejak aku melihatmu aku tak mau melepasmu lagi, Persephone. Suaramu. Gerakan anggunmu. Bahkan aromamu. Begitu menggelitik jiwaku. Kau terlalu menggoda untuk dilewatkan, Persephone. Aku memujamu.”
“Kau tak tahu bagaimana cara mencintai seseorang dengan benar. Tapi kau sudah berani mengatakan betapa kau menginginkanku. Itu tidak masuk akal.”
“Tak pernahkah seseorang mengatakan padamu, bahwa cinta membutakan logika?”
“Aku yakin aku pernah mendengar itu jauh di masa lalu.”
“Gadis pintar. Lanjutkan saja pertanyaanmu.”
“Aku ingin tahu ruangan apa ini.”
Hades tersenyum. “Ini tempatku mengatur segala sesutau yang ada di Tartarus. Aku menjaga agar tidak ada arwah yang berusaha kabur dan keluar dari tempat ini. Aku menghukum mereka yang membangkang dan  tak mentaati ketentuan takdir yang berlaku atas tubuh mereka. Aku mengadili roh roh manusia bersama Minos, Aiakos dan Rhadamanthis, Tiga Hakim Dunia Bawah. Menentukan tempat para roh yang seharusnya. Apakah mereka harus menjalani penyiksaan. Atau mereka akan hidup damai disini. Tergantung  pada apa yang sudah mereka perbuat di dunia atas. Aku berusaha seadil mungkin terhadap mereka.”
Aku terdiam mencerna setiap definisi tugas yang ia emban seharinya. Ada kesunyian membentang diantara kita selama beberapa waktu. Hades terus memandangiku. Menelanjangi mataku, menyelidiki apa yang tengah aku pikirkan. Aku menghembuskan nafas dengan pelan. Hades mengangkat alisnya.
“Apa kau merasa kelelahan?”
“Tidak. Apa aku terlihat lelah?”
“Kau terlihat sempurna.”
Aku memutar bola mataku.
“Kau tahu, memutar matamu dihadapanku itu sangat tidak sopan, sayang.”
“Aku tidak peduli.” Aku menahan keinginanku untuk menjulurkan lidahku seperti anak kecil.
“Terserah padamu. Sekarang mari kita lanjutkan saja wawancara kecilmu ketempat yang lebih nyaman.”
Hades mundur beberapa langkah dariku. Tangannya terangkat dan jemarinya berputar beberapa kali. Kabut hitam muncul dari lantai, berpusar pelan selama beberapa saat. Saat kabut menipis, yang muncul adalah sebuah kursi singgasana. ia terlihat begitu empuk dan menggoda untuk di duduki seharian penuh. Tak kalah mewah dengan singgasana milik Hades yang berada tepat di sebelah singgasana baru itu.
“Silahkan, duduklah. Aku pasti akan sangat menikmati perbincangan dengan dewi secantikmu.”
“Berhentilah merayuku, Hades.”
Hades mengangkat bahu. Aku berjalan menuju singgasana baru yang dia ‘munculkan’ dari lantai ini. Dan dia duduk di singgasana miliknya.
“Ini pertanyaan penting, Hades. Tolong jawab dengan jujur.”
“Selama aku mampu aku akan mengusahakannya.”
“Apa aku masih bisa keluar dari Tartarus? Aku ingin kembali kepada ibuku.”
“Kau masih dapat keluar dari sini. Tapi hanya aku yang bisa mengantarmu ke dunia atas, karena aku memiliki tongkat kerajaan untuk menciptakan jalan antara dunia bawah dengan dunia atas. Dan kau tahu aku tak akan melakukan itu. Aku terlalu lemah untuk kehilanganmu.”
“Kau sungguh naif.”
“Aku tahu. Lanjutkan saja pertanyaanmu.”
“Seperti apa rasanya menjadi penguasa tunggal Tartarus?” Pertanyaan bodoh. Tentu saja dia sangat menikmati menjadi penguasa segalanya.
“Aku merasa berkuasa atas semua jiwa yang ada di atas dunia, karena pada akhirnya mereka semua akan menjadi bagian dari kerajaanku. Tapi semua yang ada dibawah langit maupun yang berada di atas langit menjadi takut bahkan membenci kehadiranku. Identitasku sudah terlamapu jelek dimata mereka semua. Aku sangat kesepian.Lama di Tartarus membuatku menjadi mati rasa dan acuh kepada dunia. Aku jarang  berada di Olympus. Setiap manusia yang melakukan upacara untukku pasti akan memalingkan wajahnya karena benci ataupun segan. Aku terkadang membenci diriku sendiri yang tak bisa menjadi sehebat saudaraku yang lain.” Dari matanya aku tahu dia mengatakan yang sejujurnya, awalnya tepat seperti dugaanku. Tapi aku melihat ada binar kebosanan yang menghiasi mata hitamnya. Dia membuka mulutnya dan melanjutkan pembicaraannya,
“Tapi itu tak akan lama lagi. Kau akan mendampingiku di sini. Kita akan menguasai Tartarus bersama sama, Persephone”
“Jangan banyak berharap, Hades. Aku bukan tipe wanita yang dapat dengan mudah menerima cinta seseorang hanya karena sogokan jabatan dan pangkat. Aku tak dapat dengan mudah di taklukan, Hades.”
Hades mengelus dagunya yang tak berjanggut sambil tersenyum kaku dan matanya menatap nyalang padaku. Oh, tidak.
“Jadi, kau tak mudah ditaklukan, nona? Kau sungguh menantang, Persephone.”
“Jangan dekati aku, atau kupatahkan hidungmu itu.”
“Wah, apakah kau tak tahu, nona. Lelaki sejati bila di tantang justru akan semakin penasaran, tak terkecuali dewa seperti aku.”
“Kau tidak tampak seperti lelaki sejati. Kau menculikku dan tidak mendekatiku secara baik bak. Kau mengurungku di tempat surammu ini, tidak memperbolehkanku kembali keduniaku. Mengasingkanku. Apa itu sikap seorang laki laki, Hades? Bukan. Kau. Bukan. Pria. Sejati. Hades.” Mataku menyipit saat mengatakan ini.
 Tiba tiba Hades bangkit dari singgasananya. Menghadapku dan menarik lenganku. Dia mengunci tubuhku dan memelukku dengan erat. Dia menangkup wajahku dan menempelkan bibir basahnya kepada bibirku. Dia menciumku, bukan dengan nafsu menggelegak namun dengan bayang bayang keputus-asaan. Rasa kaget menjalari tubuhku. Ini ciuman pertamaku. Sensasinya bergelora dari tengkuk dan menjalar ke tulang belakangku. Aku mulai menyukai cara bibirnya bermain diatas bibirku. Aku hanyut dalam setiap gerakannya.
Ia melepaskan bibirnya. Matanya terpejam dan ada sedikit rona di pipinya.
“Kau tahu, Persephone. Ini benar benar ciuman pertama yang menyenangkan. Tapi mungkin kita bisa melakukan ciuman yang lebih baik dari ini.”
“Kenapa kau menciumku dengan tiba tiba?” Aku bertanya dengan nada menuntut.
“Kau terlihat sangat menggemaskan saat marah padaku. Aku tak kuasa melihat lekuk bibirmu. Begitu.. memabukkan.”
“Jangan pernah lagi menciumku. Atau kujahit bibirmu itu dengan kedua tanganku sendiri.”
“Aku pikir kau juga menikmatinya?” Matanya menyelidik ke wajahku.
Aku berusaha menyembunyikan rona merah di pipiku. “Jangan besar kepala dulu, Hades. Aku tak menikmatinya. Sama sekali.”
“Suatu hari kau akan memintaku mengecup bibirmu. Aku yakin itu.”
“Terlalu banyak berharap bisa mengacaukan hidupmu, Hades.”
“Aku tidak peduli.”

*****
To be continued :)

You May Also Like

0 komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar :)