Underworld (Chapter 4)
Sejak kejadian kemarin aku berusaha untuk tidak berpapasan atau bertemu
dengan Hades. Menghindarinya sebisa mungkin, sejauh mungkin. Belum tampak
keberanianku untuk menghadapi daya pikat yang ada di mata dan wajahnya. Hidung
dan dagunya. Oh, dan bibirnya. Hmm. Ku usir semua bayang peristiwa memalukan
kemarin saat dia menciumku. Benar benar membuat perutku terasa berisi jutaan
kupu-kupu.
Aku melamun sambil berkeliling di istana seorang diri. Benar benar suram
tempat ini, walau begitu tetap terlihat kemegahan di setiap sudut dan guratan
di dinding istananya. Langkahku terhenti di salah satu pintu yang terlihat
berbeda dari pintu-pintu yang lain. Daun pintunya terbuat dari kayu yang tampak
sangat kuat dan mengkilat. Berwarna kecoklatan dan berornamen klasik. Pahatan
daun zaitun menghiasi pinggiran pintu ini. Sederhana tapi tetap memiliki nilai
keindahan tersendiri. Gagang pintu ini berwarna keemasan, berbentuk lengkung
dengan luwesnya. Penasaran, aku membuka pintu ini perlahan. Suara berderit
pelan memecah keheningan.
Oh, my. Ini kamar Hades. Aku tahu, Ada Dwi sula dan Helm
kegelapan di mejanya. Aku juga dapat mencium aroma tubuhnya yang wangi di
ruangan ini. Aku berjalan perlahan mengelilingi ruangan ini. Ruangan ini terlalau
luas untuk di tempati sendirian.kelambu membumbung tinggi di kanopi emas yang
ada di atas ranjang beralas sutera ini.
“Kau tahu sedang berada dimana kamu?”
Aku melonjak. Hades berada tepat dibelakangku. Mengapa dia begitu suka
muncul dengan sangat tiba tiba? Menjengkelkan sekali.
“Mengapa kau diam saja, Persephone?”
“Aku hanya berusaha memahamimu. Kenapa kau begitu suka muncul tiba tiba di
sekelilingku? Itu sangat tidak menyenangkan, Hades.” Aku menggerutu pelan.
“Ini daerahku. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau di tempatku. Bukankah
begitu aturan mainnya?”
“Aturan main milik siapa? Kau membuat aturanmu sendiri dan memaksa orang
lain mengikutinya.”
“Sudah aku katakan ini wilayah milikku. Aku berhak untuk mengatur menjadi
tempat yang aku inginkan. Berhentilah membahas masalah ini. Aku yakin ada hal
lain yang lebih menyenangkan untuk kita berdua bicarakan.”
“Tak ada yang perlu kita bicarakan. Sudah cukup.”
“Kenapa kau begitu membenciku?”
“Bukankah sudah jelas alasan aku begitu muak denganmu?” aku memanyunkan
bibirku
“Kau tidak terlihat muak denganku. Kau terlalu berlebihan, nona. Kau hanya
belum terbiasa denganku saja”
“Kalaupun sudah terbiasa aku tetap tidak akan bisa berhenti membencimu.”
Aku menyipitkan mataku.
“Kau dan mulutmu benar benar sangat menjengkelkan, Persephone.” Matanya
berkilat nakal.
“Aku hanya mengatakan apa adanya, Hades.”
“Aku mengerti. Jadi, apa kau tahu sedang dimana kamu sekarang?” ia
mengulangi pertanyaannya.
Aku memerah mendengar pertanyaannya. “Tentu saja aku tahu. Ini pasti
kamarmu.”
“Ternyata selain cantik dan menawan, kau juga sangat cerdas. Bagaimana kau
tahu bahwa ini kamarku?”
“Aku melihat dwi sula dan helm kegelapanmu tergelatak di meja itu.” Aku
menunjuk dua pusaka miliknya. Hades menganggukan kepalanya sejenak. Ia berjalan
melewatiku, menyentuh tiang kanopi kasurnya sejenak dan kemudian duduk di
pinggir kasurnya.
“Aku biasa menghabiskan malamku disini. sendirian. Kau tak tahu betapa
hampa hariku, Persephone.”
Aku terdiam dan mendengar setiap kata yang keluar dari bibirnya. Aku merasa
iba kepada kehidupannya. Semenderita itukah menjadi penguasa alam baka? Dia
terlihat begitu sentimen sejak pertama berbicara padaku.
“Persephone, jangan berdiri terlalu jauh dariku. Sehari ini aku belum
menikmati kecantikanmu. Mendekatlah.”
Dengan ragu kubawa tubuhku mendekat kearahnya. Hades mengawasi tiap gerakku
dengan seksama. Apa si yang dia pikirkan? Apa dia fikir aku akan meloncat dan kabur
dari tempat suram ini? Benar benar konyol.
“Kenapa kau menatapku dengan tatapan mata seprti itu,Hades? Aku merasa kau
sedang merencanakan hal yang tidak baik terhadapku.”
Mata Hades membulat, tegang. “Persephone, aku tak pernah berniat tak baik
kepadamu.”
“Menculik dan mencium termasuk tindakan yang bermula dari niat tak baik,
Hades.”
“Sungguh. Kau dewi yang benar-benar sulit dipahami. Kau menikmati saat itu tapi tak mengakuinya.”
Apa? “Jangan idiot, Hades. Aku tak menikmatinya. Aku hanya akan melakukannya
dengan orang yang aku cintai.”
“Aku tahu kau berbohong, Persephone.” Bibirnya mengulas senyum jenaka. Aku
diam saja dan menundukan kepalaku. Aku jengkel. Benar benar terpojok dengan
semua kata katanya, kurang ajar dia.
“Persephone, apa kau mencintaiku?” Matanya nanar menatapku. Aku kaget dan
mengangkat kepalaku. Sejenak terkaget dengan cara bicaranya yang jujur dan
lugas. Dia rupanya penuh kejutan, tak terduga, spontan.
“Tidak, Hades. Bahkan jika Sungai
Styx mengering, aku tak akan pernah jadi milikmu selamanya.”
“Apa sudah ada orang lain yang memikat hatimu? Siapa dia? Hermes? Apolo?”
Mata dan cara bicaranya berubah dengan cepat. Diliputi kemarahan tak beralasan.
Ahh. Dia cemburu.
Parasku memerah lagi. Harus aku akui aku pernah menaruh hati kepada Apollo.
Dia begitu cemerlang dan kepribadiannya sangat menyenangkan. Apollo tampaknya
juga menyukaiku, terlihat dari hadiah yang pernah dia berikan padaku. Tapi saat
ibuku tahu, dia langsung melarang hubungan kita bahkan sebelum kita memulai
sebuah hubungan yang lebih jauh. Tentu saja aku hanya bisa menurut padanya.
Hades dapat melihat lamunanku. Dan kemarahannya berkelanjutan. “Apa kau
mencintai seseorang lain?”
Aku menatap matanya,menelusuri setiap kerut di dahinya yang timbul akibat
dari kemarahannya yang tidak masuk akal. “Apa urusanmu mengenai hal ini,
Hades?”
“Kau milikku. Aku berhak tahu perasaanmu, emosimu, semua tentangmu. Kapan
kau mau mengerti, sih?” Ia berkata dengan nada datar.
Alisku bertautan. “Sejak kapan aku menjadi milikmu? Berhentilah berkhayal,
Hades.”
“Itu tidak penting. Jawab saja pertanyaanku, gadis bodoh.” Bibirnya
mengatup membentuk garis lurus.
“Tidak. Aku tidak pernah mencintai seseorang di masa sebelumnya. Aku hanya
pernah menaruh hati saja. Pentingkah hal ini untukmu? Ini sangat memalukan.”
Aku menggerutu.
“Lalu apa yang terjadi dengan pria beruntung itu?” Masih saja dia
mengatupkan bibirnya.
“Ibuku melarangku berhubungan dengannya lagi.”
Matanya melebar, sedikit terkejut. “Dan kau mematuhinya?”
“Tentu saja.” Aku menatapnya dengan sedikit sinis. “Aku mencintai
ibuku,Hades. Kupatuhi segala perintahnya. Tapi kau merenggutnya dariku. Atau
mungkin lebih tepat bila dikatakan kau merenggutku darinya. Kini aku
sangat merindukannya.”
“Lupakan saja dia, Persephone. Kau
sudah cukup dewasa untuk lepas dari bayang bayang ibumu. Kau memilikiku. Aku
bisa memberimu segalanya.” Begitu entengnya dia katakan kalau aku harus
melupakan ibuku. Dasar dewa sakit jiwa.
“Kembalikan aku. Kumohon. Aku
sungguh merindukan ibuku.” Aku
menyipitkan mataku, tersinggung oleh perkataannya.
Hades menegang. “Tidak tidak tidak. Kau harus tetap di sini. Kau. Milikku. Langkahi
dulu mayatku, Persephone. Aku lebih baik mati daripada harus membiarkanmu pergi
dari dekapanku!”
“Berhentilah bersikap kekanakan, Hades. Ini bukan duniaku. Aku rindu
matahari. Helios sudah seperti ayahku sendiri. Aku rindu rerumputan hijau. Ini
jelas bukan tempatku.” Aku mulai menitikan kristal dari mataku. Kemarahan dan
kerinduan merebak dihatiku. Aku benar
benar merindukan dunia atas. Hembusan angin dan semarak kunang-kunang di kala
malam. Suara hummingbird dan jangkrik di waktu tertentu. Merindukan semua yang
ada di sana. Ibuku. Ahh.
“Kau tidak akan bisa keluar dari Tartarus ini. Dan jangan pernah kau coba
untuk lari dan pergi meninggalkanku. Kau akan menyesal jika kau beusaha
melanggar perkataanku.” Matanya menyorotkan ketegasan dan sedikit amarah. Egonya
mulai terusik karena aku terus terusan melawannya.
Aku tak sanggup berkata apapun lagi. Hanya kubawa langkah kakiku mundur
beberapa langkah. “Kau. Monster!” Aku berlari keluar dari kamarnya. Tak hentinya air mata bodoh ini mengalir. Hades
tak mengejarku. Persetan dengan dia! Aku akan mencari jalan keluarku sendiri.
Aku berjalan mengitari lorong lorong istananya. Aku membuka tiap ruangan
dan berharap akan menemukan pintu keluar. Namun, sial. Istana ini benar seperti
tersusun dari labirin. Aku mulai putus asa. kuputar otakku untuk mencari cara
keluar dari sini. Dan aku mengutuk kebodohanku. Mengapa tidak terpikirkan untuk
keluar lewat jendela? Akan kupecah kacanya sehingga aku bisa keluar dari sini.
Aku membalikkan badanku kembali ke ruang aula tadi.
Ada jendela kaca yang menjulang di dinding. Jendela tadi ditutup oleh tirai
hitam pekat sehingga tidak banyak cahaya yang mampu menembus masuk ke ruangan.
Aku menyibak tirai tersebut. Tepat dugaanku. Jendela ini terbuat dari kaca. Dan
di luar terlihat halaman istana Hades. Aku mengambil sebuah guci berukuran
sedang dan melemparnya ke arah kaca tersebut. Si tolol Hades tak akan menyadari
bahwa salah satu koleksi gucinya hilang satu.
PRAANG!
Suara kaca pecah memenuhi ruangan ini. Aku menunduk dan berjongkok
menghindari pecahan kaca yang bertebaran menuju kearahku. Setelah suasana
kembali hening aku kembali berdiri. Sebuah lubang besar terbentuk di kaca tadi.
Aku bergegas keluar melewati lubang itu. Tak kupedulikan goresan kaca yang
melukai pergelangan tanganku. Aku berlari sejauh yang aku bisa, tidak
menghiraukan juga hawa panas yang menyelubungi tubuhku. Nafasku mulai mencapai
titik kulminasi. Lelah membungkus tubuhku. Aku berhenti di sebuah pohon yang meranggas
tidak berdaun. Selama ini, aku tak pernah melihat pohon yang berbentuk seperti
ini. Dan aku juga baru tahu bahwa di Tartarus dapat tumbuh pohon walau pohon
yang tumbuh sangat mengenaskan keadaannya.
Aku menyentuh batang pohon itu dan memejamkan mataku. Aku mengucap beberapa
mantra dan kemudian pohon tersebut mulai berubah. Batangnya yang tadinya kurus
kehitaman mulai berisi dan berwarna kecoklatan. Daunnya mulai melebat dan
tangkainya tumbuh makin bercabang. Aku cukupkan pemulihan pohon ni. Kembali
beristirahat di bawah pohon ini dengan terengah engah.
Astaga, Tartarus benar benar tempat yang mengerikan. Dari kejauhan aku bisa
mendengar rintihan jiwa jiwa manusia yang memikul dosa berat dan sedang menjalani
hukuman di Lapangan Pembalasan. Bulu kudukku meremang. Sendirian di sini
ternyata memang bukan ide yang bagus.
Perasaan nyeri di pergelangan tangan mulai menyita perhatianku. Darah masih
menetes pelan dari bekas lukaku. Tiap tetes darah yang jatuh ketanah
menumbuhkan rumput hijau pucat dan bunga yang berwarna merah darah. Aku
mengusap lukaku dan menekan nadi agar darah berhenti menetes.
Tiba tiba terdengar suara bergemerasak di sekitarku. Seperti suara kaki
yang menginjak daun kering. Aku menoleh pandanganku perlahan. Jantungku seperti
melorot ke lututku. Demi langit dan bumi. Makhluk apa itu? Kepalanya seperti
banteng, berbadan seperti manusia. Mataya merah mengkilat dan liur menetes dari
mulutnya. Kuku kaki dan tangangnya terlihat begitu tajam, dan –astaga- dia
berekor kalajengking! Aku sungguh belum pernah melihat makhluk seperti itu.
Kutahan deru nafasku. Berusaha tidak menimbulkan suara yang mengagetkan.
Aku membalikkan badanku secara perlahan dan berdiri sehening yang aku bisa.
Tanganku gemetaran hebat. Dan sialnya aku menginjak ranting kering yang
menyebabkan makhluk itu menemukanku. Mata makhluk itu berkilat tajam kearahku.
Sepertinya ia tahu kalau aku bukanlah sebuah jiwa yang memang bertempat di
Tartarus. Dia menyadarinya, benar benar menyadarinya. Dan ia mulai berlari
kearahku.
Aku menjerit ketakutan dan berlari sekuat tenaga. Bisa kudengar suara
lenguhan makhluk itu di belakangku, benar benar bernafsu untuk menangkap dan
mungkin menjadikanku kudapan siangnya. Aku terus berlari menjauhi makhluk
mengerikan itu.
Ohh, tidak! Aku terpojok di jurang yang dalam. Ini jalan buntu! Aku
melongok kearah jurang yang berada tepat di depanku. Perutku merosot melihat
apa yang ada di dalam jurang tersebut. Ini Pusaran Maut. Lingkaran Jiwa yang
Tak Berujung. Aku bisa melihat banyak jiwa yang berputar pelan di pusaran
tersebut. Mereka sedang mengalami siksaan pembakaran jiwa mereka atas dosa dosa
tak terampuni yang tlah mereka perbuat. Jeritan mereka lirih namun benar benar
menusuk telingaku. Bahkan seorang dewa kuat tak akan bertahan di pusaran ini
dan akan binasa perlahan tertelan pekatnya dendam amarah dan kebencian yang
menguar dari Pusaran ini.
Haruskah aku melompat? Lebih baik binasa di telan makhluk ini atau
menghilang di Pusaran Maut di depanku?
Aku tak punya pilihan lain yang lebih baik dari ni. Aku melompat dan
tenggelam di dalam Pusaran maut ini. Warna hijau menjijikannya benar benar
membuatku mual. Semua emosi jahat yang ada pada makhluk sejagat raya mulai
menusuk kepalaku. Menjejali setiap sum sum tulangku. Memori tidak menyenangkan
mulai berputar di pikiranku, kesalahanku, dusta kecilku, ketidak patuhanku pada
ibuku, semuanya. Kulitku mulai mengeriput dan layu. Bisa kurasakan tubuhku
mulai melemas. Aku akan binasa di sini. Aku tahu itu. Setidaknya aku tidak mati
binasa di tangan makhluk aneh itu. Aku memejamkan mataku. Zeus, Ayahku. lindungilah
ibuku. Pertemukan kita di Surga nanti. Amin.
Tubuhku terayun ayun dan aku mulai terbiasa walau terasa sakit dan
penyesalan mulai membukit di benakku karena tidak mampu memberi yang terbaik
pada ibuku. Tubuhku terasa terangkat aku tidak membuka mataku. Tapi aku merasa
ada yang aneh. Aku tidak terayun ayun lagi. Kemana semua emosi jahat terkutuk
yang menyelubungiku?
Ada tangan tangan yang mengusap wajah dan rambutku. Dingin. Tangan siapa
ini?
Sudakah aku berada di surga?
Haruskah kubuka mataku?
“Persephone?” ia memanggilku. Crap!
Aku kenal suara itu. Apa pria ini tidak bisa meninggalkanku mati dengan
damai?
“Pergilah. Aku tak mau melihatmu, Hades.”
“Kau hampir binasa di pusaran ciptaanku, aku menyelamatkanmu dan kau masih
saja membenciku? Berfikir dengan akal sehat dong, Persephone!”
“Aku tak takut binasa. Itu takdirku jika aku harus binasa.”
“Gadis keras kepala yang menjengkelkan.”
“Laki laki obsesif yang menjijikan.” Aku dengan berani membalasnya. Aku
masih tak mau membuka mataku. Aku tak sanggup melihat langsung ke arah matanya.
Supaya dia tidak melihat binar ketakutan di mataku. Ia mengusap wajahku.
Rambutku. Alis. Pipi. Terus menerus. Entah mengapa aku merasa nyaman dalam
belaian tangannya. Ia memelukku yang masih berbaring di tanah.
“Aku yakin kau merasa kelelahan.” Ia memecah keheningan yang sempat
terbentang di antara kita selama beberapa waktu.
“Ehmm..”
“buka matamu. Sekarang.”
“aku tak mau.”
“Kumohon. Sebentar saja. Lihat aku, tepat di mataku. Aku tak akan
menyakitimu.”
Terakhir kali aku tidak menuruti perintahnya, aku hampir tertelan
Setan-banteng. Kuputuskan untuk membuka mataku perlahan. Toh, tidak ada
ruginya. Dan.. astaga, dia begitu berantakan. Dan wajahku! Aku bisa melihat
pantulan wajahku di matanya. Aku terlihat tua dan keriput. Pucat dan beruban.
“Hades, apa yang terjadi dengan tubuhku?” aku mencicit ketakutan.
“aku tak tahu persisnya. Tapi sepertinya kutukan Pusaran tadi menghisap
energi dan juga hampir menghabiskan keabadianmu.”
“bisakah aku kembali seperti semula?”
“Akan kuusahakan..setelah kau menerima lamaranku terlebih dahulu.” Dia
tersenyum lebar.
“Sekarang, Hades.”
Hades mengangkat bahunya, “Baiklah. Diam di situ. Kutukan pusaran itu
lumayan kuat, Persephone.”
Ia memegang dahiku dan memejamkan matanya. Merapalkan beberapa mantra
dengan cepat dan tidak kumengerti maknanya. Aku merasa ada sesuatu yang pecah
di dalam tubuhku dan mengalir keluar dengan deras. Pusing. Aku mengalami sakit
kepala hebat.
“Tahan, persephone. Menjeritlah tapi jangan lepaskan kontak kita. Atau
semua harus kita ulang dari awal.” Ia memerintahkan denagn tegas. Aku
mengangguk ketakutan.
Aku menjerit. Rasanya seperti menjatuhkan dirimu kedalam jurang dan
kepalamu terbentur ke dasar jurang itu. Mataku perih, kutukan itu tampaknya
keluar dari semua indra tubuhku. Nafasku menghembus keras dan panas. Tangan dan
kakiku sungguh kaku. Panas, sakit.
“Hades, hentikasn, aku tak kuat lagi!” aku mulai terisak. Sakitnya tak bisa
kutolerir lagi.
“Diamlah. Ini tak akan lama lagi.’
Hades benar. Setelah ia selesai berucap, semua sakit dan panas yang membakarku
mulai berkurang. Kini hanya ada denyutan kecil di kepalaku. Lama setelahnya,
baru denyutan itu hilang. Begitu juga rasa sakit dan panas yang membakarku.
Hening. Hanya suara nafasku dan nafasnya yang terdengar.
“Bagaimana perasaanmu?”
“Lebih baik. Jauh lebih baik. Terima kasih, Hades.”
“Senang dapat membantumu, Belissima.”
“Bagaimana wajahku? Apakah aku telah kembali seperti semula?”
“Kau bisa melihatnya sendiri nanti. Aku sudah gatal ingin membawamu pulang
dan memberimu ruang beristirahat yang nyaman.”
“Aku menurut saja padamu, Hades. Aku terlalu lelah untuk membantahmu.”
Dia tersenyum girang, “Mengapa tak dari dulu kau patuh padaku, semua akan
terasa jauh lebih mudah untuk kita.’
“Bisakah kau menyimpan kegiranganmu untuk nanti saja? Aku lelah, Hades.’
“Maafkan aku. Ayo kita pulang.”
“Ayo kita kembali ke istanamu. Bukannya
pulang, Hades Rumahku bukan di sini.”
Hades mengatupkan bibirnya rapat.
“Keras kepala.” Ia mendesis pelan.
Aku mengabaikannya. Ia membopongku dan membawaku di atas kereta kencananya
yang di tarik empat kuda besar-hitam yang abadi. Kita memulai perjalanan ke
istananya. Aku ingin tidur di pelukannya. Harum. Aku pejamkan mataku sampai aku
agak tertidur.
“Persephone?kita sudah sampai. Lanjutkan saja tidurmu. Aku akan membawamu
ke kamarmu.”
“Terserah padamu.” Aku setengah mengigau dan mengencangkan tanganku pada
lehernya. Nyaman sekali di sini.
Sepertinya aku mendengar dia terkekeh dan..mengecup dahiku. Ia
menggendongku dengan mudahnya seperti aku bukan tandingannya. Kita berjalan ke
kamarku. Aku merasa direbahkan di atas kasur. Berat sekali rasanya mataku. Dan
bayang bayang pusaran tadi kembali menakutiku. Aku mengkerut saat mengingat
rasa sakit yang di timbulkan kutukan itu. Makhluk berkepala banteng tadi. Ahh..
“Ada apa, Persephone?”
“Aku masih merasakan sakit dari pencabutan kutukan tadi. Dan, oh,
Makhluk apa tadi yang berusaha membuatku
menjadi makan siangnya? Dia sungguh menjijikan!”
“Untuk itulah aku membawamu kesini, beristirahatlah sejenak, sayang. Dan,
makhluk apa yang kau bicarakan itu? Seperti apa dia?”
“Dia berkepala banteng. Berbadan manusia tapi berekor kalajengking. Apa
itu, Hades?”
“Itu penjaga ternakku.” Dia tersenyum lemah. “Maafkan aku, lain waktu akan
aku beri dia pelajaran untuk menghormati calon ratunya.”
“Kau? Punya ternak?” aku melongo heran.
“Setiap kerajaan harus punya ternak untuk menghidupi kerajaan itu. Tapi ini
bukan jenis ternak menggemaskan yang biasa kau lihat.” Bibirnya terangkat
sebelah. Puas menikmati keherananku.
“Apakah kau mau menunjukannya padaku?”
“Suatu saat nanti, Persephone. Sekarang beristirahatlah. Aku tak mau
melihat kerutan lagi di dahimu karena kau kekurangan waktu tidur yang berkualitas.”
Nada bicaranya kembali seperti biasa. Seperti memerintah dan mengatur. Dasar
gila kekuasaan. Aku memejamkan mataku, menikmati waktu yang berlalu sejenak.
Setengah terlelap, tapi aku masih merasa dia mengusap dahiku perlahan.
“Tidur yang nyenyak, Persephone.”
“Hades?” Aku berkata lirih. Setengah mengigau.
“Ya?”
“Terimakasih.” Dan aku terlelap dalam tidur.
******
To Be Continued :)
0 komentar
Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar :)