Underworld (Chapter 4)

by - 12.38.00



Sejak kejadian kemarin aku berusaha untuk tidak berpapasan atau bertemu dengan Hades. Menghindarinya sebisa mungkin, sejauh mungkin. Belum tampak keberanianku untuk menghadapi daya pikat yang ada di mata dan wajahnya. Hidung dan dagunya. Oh, dan bibirnya. Hmm. Ku usir semua bayang peristiwa memalukan kemarin saat dia menciumku. Benar benar membuat perutku terasa berisi jutaan kupu-kupu.
Aku melamun sambil berkeliling di istana seorang diri. Benar benar suram tempat ini, walau begitu tetap terlihat kemegahan di setiap sudut dan guratan di dinding istananya. Langkahku terhenti di salah satu pintu yang terlihat berbeda dari pintu-pintu yang lain. Daun pintunya terbuat dari kayu yang tampak sangat kuat dan mengkilat. Berwarna kecoklatan dan berornamen klasik. Pahatan daun zaitun menghiasi pinggiran pintu ini. Sederhana tapi tetap memiliki nilai keindahan tersendiri. Gagang pintu ini berwarna keemasan, berbentuk lengkung dengan luwesnya. Penasaran, aku membuka pintu ini perlahan. Suara berderit pelan memecah keheningan.
Oh, my. Ini kamar Hades. Aku tahu, Ada Dwi sula dan Helm kegelapan di mejanya. Aku juga dapat mencium aroma tubuhnya yang wangi di ruangan ini. Aku berjalan perlahan mengelilingi ruangan ini. Ruangan ini terlalau luas untuk di tempati sendirian.kelambu membumbung tinggi di kanopi emas yang ada di atas ranjang beralas sutera ini.
“Kau tahu sedang berada dimana kamu?”
Aku melonjak. Hades berada tepat dibelakangku. Mengapa dia begitu suka muncul dengan sangat tiba tiba? Menjengkelkan sekali.
“Mengapa kau diam saja, Persephone?”
“Aku hanya berusaha memahamimu. Kenapa kau begitu suka muncul tiba tiba di sekelilingku? Itu sangat tidak menyenangkan, Hades.” Aku menggerutu pelan.
“Ini daerahku. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau di tempatku. Bukankah begitu aturan mainnya?”
“Aturan main milik siapa? Kau membuat aturanmu sendiri dan memaksa orang lain mengikutinya.”
“Sudah aku katakan ini wilayah milikku. Aku berhak untuk mengatur menjadi tempat yang aku inginkan. Berhentilah membahas masalah ini. Aku yakin ada hal lain yang lebih menyenangkan untuk kita berdua bicarakan.”
“Tak ada yang perlu kita bicarakan. Sudah cukup.”
“Kenapa kau begitu membenciku?”
“Bukankah sudah jelas alasan aku begitu muak denganmu?” aku memanyunkan bibirku
“Kau tidak terlihat muak denganku. Kau terlalu berlebihan, nona. Kau hanya belum terbiasa denganku saja”
“Kalaupun sudah terbiasa aku tetap tidak akan bisa berhenti membencimu.” Aku menyipitkan mataku.
“Kau dan mulutmu benar benar sangat menjengkelkan, Persephone.” Matanya berkilat nakal.
“Aku hanya mengatakan apa adanya, Hades.”
“Aku mengerti. Jadi, apa kau tahu sedang dimana kamu sekarang?” ia mengulangi pertanyaannya.
Aku memerah mendengar pertanyaannya. “Tentu saja aku tahu. Ini pasti kamarmu.”
“Ternyata selain cantik dan menawan, kau juga sangat cerdas. Bagaimana kau tahu bahwa ini kamarku?”
“Aku melihat dwi sula dan helm kegelapanmu tergelatak di meja itu.” Aku menunjuk dua pusaka miliknya. Hades menganggukan kepalanya sejenak. Ia berjalan melewatiku, menyentuh tiang kanopi kasurnya sejenak dan kemudian duduk di pinggir kasurnya.
“Aku biasa menghabiskan malamku disini. sendirian. Kau tak tahu betapa hampa hariku, Persephone.”
Aku terdiam dan mendengar setiap kata yang keluar dari bibirnya. Aku merasa iba kepada kehidupannya. Semenderita itukah menjadi penguasa alam baka? Dia terlihat begitu sentimen sejak pertama berbicara padaku.
“Persephone, jangan berdiri terlalu jauh dariku. Sehari ini aku belum menikmati kecantikanmu. Mendekatlah.”
Dengan ragu kubawa tubuhku mendekat kearahnya. Hades mengawasi tiap gerakku dengan seksama. Apa si yang dia pikirkan? Apa dia fikir aku akan meloncat dan kabur dari tempat suram ini? Benar benar konyol.
“Kenapa kau menatapku dengan tatapan mata seprti itu,Hades? Aku merasa kau sedang merencanakan hal yang tidak baik terhadapku.”
Mata Hades membulat, tegang. “Persephone, aku tak pernah berniat tak baik kepadamu.”
“Menculik dan mencium termasuk tindakan yang bermula dari niat tak baik, Hades.”
“Sungguh. Kau dewi yang benar-benar sulit dipahami. Kau menikmati saat itu tapi tak mengakuinya.”
Apa? “Jangan idiot, Hades. Aku tak menikmatinya. Aku hanya akan melakukannya dengan orang yang aku cintai.”
“Aku tahu kau berbohong, Persephone.” Bibirnya mengulas senyum jenaka. Aku diam saja dan menundukan kepalaku. Aku jengkel. Benar benar terpojok dengan semua kata katanya, kurang ajar dia.
“Persephone, apa kau mencintaiku?” Matanya nanar menatapku. Aku kaget dan mengangkat kepalaku. Sejenak terkaget dengan cara bicaranya yang jujur dan lugas. Dia rupanya penuh kejutan, tak terduga, spontan.
“Tidak, Hades. Bahkan jika  Sungai Styx mengering, aku tak akan pernah jadi milikmu selamanya.”
“Apa sudah ada orang lain yang memikat hatimu? Siapa dia? Hermes? Apolo?” Mata dan cara bicaranya berubah dengan cepat. Diliputi kemarahan tak beralasan. Ahh. Dia cemburu.
Parasku memerah lagi. Harus aku akui aku pernah menaruh hati kepada Apollo. Dia begitu cemerlang dan kepribadiannya sangat menyenangkan. Apollo tampaknya juga menyukaiku, terlihat dari hadiah yang pernah dia berikan padaku. Tapi saat ibuku tahu, dia langsung melarang hubungan kita bahkan sebelum kita memulai sebuah hubungan yang lebih jauh. Tentu saja aku hanya bisa menurut padanya.
Hades dapat melihat lamunanku. Dan kemarahannya berkelanjutan. “Apa kau mencintai seseorang lain?”
Aku menatap matanya,menelusuri setiap kerut di dahinya yang timbul akibat dari kemarahannya yang tidak masuk akal. “Apa urusanmu mengenai hal ini, Hades?”
“Kau milikku. Aku berhak tahu perasaanmu, emosimu, semua tentangmu. Kapan kau mau mengerti, sih?” Ia berkata dengan nada datar.
Alisku bertautan. “Sejak kapan aku menjadi milikmu? Berhentilah berkhayal, Hades.”
“Itu tidak penting. Jawab saja pertanyaanku, gadis bodoh.” Bibirnya mengatup membentuk garis lurus.
“Tidak. Aku tidak pernah mencintai seseorang di masa sebelumnya. Aku hanya pernah menaruh hati saja. Pentingkah hal ini untukmu? Ini sangat memalukan.” Aku menggerutu.
“Lalu apa yang terjadi dengan pria beruntung itu?” Masih saja dia mengatupkan bibirnya.
“Ibuku melarangku berhubungan dengannya lagi.”
Matanya melebar, sedikit terkejut. “Dan kau mematuhinya?”
“Tentu saja.” Aku menatapnya dengan sedikit sinis. “Aku mencintai ibuku,Hades. Kupatuhi segala perintahnya. Tapi kau merenggutnya dariku. Atau mungkin lebih tepat bila dikatakan kau merenggutku darinya. Kini aku sangat merindukannya.”
 “Lupakan saja dia, Persephone. Kau sudah cukup dewasa untuk lepas dari bayang bayang ibumu. Kau memilikiku. Aku bisa memberimu segalanya.” Begitu entengnya dia katakan kalau aku harus melupakan ibuku. Dasar dewa sakit jiwa.
 “Kembalikan aku. Kumohon. Aku sungguh merindukan ibuku.”  Aku menyipitkan mataku, tersinggung oleh perkataannya.
Hades menegang. “Tidak tidak tidak. Kau harus tetap di sini. Kau. Milikku. Langkahi dulu mayatku, Persephone. Aku lebih baik mati daripada harus membiarkanmu pergi dari dekapanku!”
“Berhentilah bersikap kekanakan, Hades. Ini bukan duniaku. Aku rindu matahari. Helios sudah seperti ayahku sendiri. Aku rindu rerumputan hijau. Ini jelas bukan tempatku.” Aku mulai menitikan kristal dari mataku. Kemarahan dan kerinduan merebak dihatiku.  Aku benar benar merindukan dunia atas. Hembusan angin dan semarak kunang-kunang di kala malam. Suara hummingbird dan jangkrik di waktu tertentu. Merindukan semua yang ada di sana. Ibuku. Ahh.
“Kau tidak akan bisa keluar dari Tartarus ini. Dan jangan pernah kau coba untuk lari dan pergi meninggalkanku. Kau akan menyesal jika kau beusaha melanggar perkataanku.” Matanya menyorotkan ketegasan dan sedikit amarah. Egonya mulai terusik karena aku terus terusan melawannya.
Aku tak sanggup berkata apapun lagi. Hanya kubawa langkah kakiku mundur beberapa langkah. “Kau. Monster!” Aku berlari keluar dari kamarnya.  Tak hentinya air mata bodoh ini mengalir. Hades tak mengejarku. Persetan dengan dia! Aku akan mencari jalan keluarku sendiri.
Aku berjalan mengitari lorong lorong istananya. Aku membuka tiap ruangan dan berharap akan menemukan pintu keluar. Namun, sial. Istana ini benar seperti tersusun dari labirin. Aku mulai putus asa. kuputar otakku untuk mencari cara keluar dari sini. Dan aku mengutuk kebodohanku. Mengapa tidak terpikirkan untuk keluar lewat jendela? Akan kupecah kacanya sehingga aku bisa keluar dari sini. Aku membalikkan badanku kembali ke ruang aula tadi.
Ada jendela kaca yang menjulang di dinding. Jendela tadi ditutup oleh tirai hitam pekat sehingga tidak banyak cahaya yang mampu menembus masuk ke ruangan. Aku menyibak tirai tersebut. Tepat dugaanku. Jendela ini terbuat dari kaca. Dan di luar terlihat halaman istana Hades. Aku mengambil sebuah guci berukuran sedang dan melemparnya ke arah kaca tersebut. Si tolol Hades tak akan menyadari bahwa salah satu koleksi gucinya hilang satu.
PRAANG!
Suara kaca pecah memenuhi ruangan ini. Aku menunduk dan berjongkok menghindari pecahan kaca yang bertebaran menuju kearahku. Setelah suasana kembali hening aku kembali berdiri. Sebuah lubang besar terbentuk di kaca tadi.
Aku bergegas keluar melewati lubang itu. Tak kupedulikan goresan kaca yang melukai pergelangan tanganku. Aku berlari sejauh yang aku bisa, tidak menghiraukan juga hawa panas yang menyelubungi tubuhku. Nafasku mulai mencapai titik kulminasi. Lelah membungkus tubuhku. Aku berhenti di sebuah pohon yang meranggas tidak berdaun. Selama ini, aku tak pernah melihat pohon yang berbentuk seperti ini. Dan aku juga baru tahu bahwa di Tartarus dapat tumbuh pohon walau pohon yang tumbuh sangat mengenaskan keadaannya.
Aku menyentuh batang pohon itu dan memejamkan mataku. Aku mengucap beberapa mantra dan kemudian pohon tersebut mulai berubah. Batangnya yang tadinya kurus kehitaman mulai berisi dan berwarna kecoklatan. Daunnya mulai melebat dan tangkainya tumbuh makin bercabang. Aku cukupkan pemulihan pohon ni. Kembali beristirahat di bawah pohon ini dengan terengah engah.
Astaga, Tartarus benar benar tempat yang mengerikan. Dari kejauhan aku bisa mendengar rintihan jiwa jiwa manusia yang memikul dosa berat dan sedang menjalani hukuman di Lapangan Pembalasan. Bulu kudukku meremang. Sendirian di sini ternyata memang bukan ide yang bagus.
Perasaan nyeri di pergelangan tangan mulai menyita perhatianku. Darah masih menetes pelan dari bekas lukaku. Tiap tetes darah yang jatuh ketanah menumbuhkan rumput hijau pucat dan bunga yang berwarna merah darah. Aku mengusap lukaku dan menekan nadi agar darah berhenti menetes.
Tiba tiba terdengar suara bergemerasak di sekitarku. Seperti suara kaki yang menginjak daun kering. Aku menoleh pandanganku perlahan. Jantungku seperti melorot ke lututku. Demi langit dan bumi. Makhluk apa itu? Kepalanya seperti banteng, berbadan seperti manusia. Mataya merah mengkilat dan liur menetes dari mulutnya. Kuku kaki dan tangangnya terlihat begitu tajam, dan –astaga- dia berekor kalajengking! Aku sungguh belum pernah melihat makhluk seperti itu.
Kutahan deru nafasku. Berusaha tidak menimbulkan suara yang mengagetkan. Aku membalikkan badanku secara perlahan dan berdiri sehening yang aku bisa. Tanganku gemetaran hebat. Dan sialnya aku menginjak ranting kering yang menyebabkan makhluk itu menemukanku. Mata makhluk itu berkilat tajam kearahku. Sepertinya ia tahu kalau aku bukanlah sebuah jiwa yang memang bertempat di Tartarus. Dia menyadarinya, benar benar menyadarinya. Dan ia mulai berlari kearahku.
Aku menjerit ketakutan dan berlari sekuat tenaga. Bisa kudengar suara lenguhan makhluk itu di belakangku, benar benar bernafsu untuk menangkap dan mungkin menjadikanku kudapan siangnya. Aku terus berlari menjauhi makhluk mengerikan itu.  
Ohh, tidak! Aku terpojok di jurang yang dalam. Ini jalan buntu! Aku melongok kearah jurang yang berada tepat di depanku. Perutku merosot melihat apa yang ada di dalam jurang tersebut. Ini Pusaran Maut. Lingkaran Jiwa yang Tak Berujung. Aku bisa melihat banyak jiwa yang berputar pelan di pusaran tersebut. Mereka sedang mengalami siksaan pembakaran jiwa mereka atas dosa dosa tak terampuni yang tlah mereka perbuat. Jeritan mereka lirih namun benar benar menusuk telingaku. Bahkan seorang dewa kuat tak akan bertahan di pusaran ini dan akan binasa perlahan tertelan pekatnya dendam amarah dan kebencian yang menguar dari Pusaran ini.
Haruskah aku melompat? Lebih baik binasa di telan makhluk ini atau menghilang di Pusaran Maut di depanku?
Aku tak punya pilihan lain yang lebih baik dari ni. Aku melompat dan tenggelam di dalam Pusaran maut ini. Warna hijau menjijikannya benar benar membuatku mual. Semua emosi jahat yang ada pada makhluk sejagat raya mulai menusuk kepalaku. Menjejali setiap sum sum tulangku. Memori tidak menyenangkan mulai berputar di pikiranku, kesalahanku, dusta kecilku, ketidak patuhanku pada ibuku, semuanya. Kulitku mulai mengeriput dan layu. Bisa kurasakan tubuhku mulai melemas. Aku akan binasa di sini. Aku tahu itu. Setidaknya aku tidak mati binasa di tangan makhluk aneh itu. Aku memejamkan mataku. Zeus, Ayahku. lindungilah ibuku. Pertemukan kita di Surga nanti. Amin.
Tubuhku terayun ayun dan aku mulai terbiasa walau terasa sakit dan penyesalan mulai membukit di benakku karena tidak mampu memberi yang terbaik pada ibuku. Tubuhku terasa terangkat aku tidak membuka mataku. Tapi aku merasa ada yang aneh. Aku tidak terayun ayun lagi. Kemana semua emosi jahat terkutuk yang menyelubungiku?
Ada tangan tangan yang mengusap wajah dan rambutku. Dingin. Tangan siapa ini?
Sudakah aku berada di surga?
Haruskah kubuka mataku?
“Persephone?” ia memanggilku. Crap!
Aku kenal suara itu. Apa pria ini tidak bisa meninggalkanku mati dengan damai?
“Pergilah. Aku tak mau melihatmu, Hades.”
“Kau hampir binasa di pusaran ciptaanku, aku menyelamatkanmu dan kau masih saja membenciku? Berfikir dengan akal sehat dong, Persephone!”
“Aku tak takut binasa. Itu takdirku jika aku harus binasa.”
“Gadis keras kepala yang menjengkelkan.”
“Laki laki obsesif yang menjijikan.” Aku dengan berani membalasnya. Aku masih tak mau membuka mataku. Aku tak sanggup melihat langsung ke arah matanya. Supaya dia tidak melihat binar ketakutan di mataku. Ia mengusap wajahku. Rambutku. Alis. Pipi. Terus menerus. Entah mengapa aku merasa nyaman dalam belaian tangannya. Ia memelukku yang masih berbaring di tanah.
“Aku yakin kau merasa kelelahan.” Ia memecah keheningan yang sempat terbentang di antara kita selama beberapa waktu.
“Ehmm..”
“buka matamu. Sekarang.”
“aku tak mau.”
“Kumohon. Sebentar saja. Lihat aku, tepat di mataku. Aku tak akan menyakitimu.”
Terakhir kali aku tidak menuruti perintahnya, aku hampir tertelan Setan-banteng. Kuputuskan untuk membuka mataku perlahan. Toh, tidak ada ruginya. Dan.. astaga, dia begitu berantakan. Dan wajahku! Aku bisa melihat pantulan wajahku di matanya. Aku terlihat tua dan keriput. Pucat dan beruban.
“Hades, apa yang terjadi dengan tubuhku?” aku mencicit ketakutan.
“aku tak tahu persisnya. Tapi sepertinya kutukan Pusaran tadi menghisap energi dan juga hampir menghabiskan keabadianmu.”
“bisakah aku kembali seperti semula?”
“Akan kuusahakan..setelah kau menerima lamaranku terlebih dahulu.” Dia tersenyum lebar.
“Sekarang, Hades.”
Hades mengangkat bahunya, “Baiklah. Diam di situ. Kutukan pusaran itu lumayan kuat, Persephone.”
Ia memegang dahiku dan memejamkan matanya. Merapalkan beberapa mantra dengan cepat dan tidak kumengerti maknanya. Aku merasa ada sesuatu yang pecah di dalam tubuhku dan mengalir keluar dengan deras. Pusing. Aku mengalami sakit kepala hebat.
“Tahan, persephone. Menjeritlah tapi jangan lepaskan kontak kita. Atau semua harus kita ulang dari awal.” Ia memerintahkan denagn tegas. Aku mengangguk ketakutan.
Aku menjerit. Rasanya seperti menjatuhkan dirimu kedalam jurang dan kepalamu terbentur ke dasar jurang itu. Mataku perih, kutukan itu tampaknya keluar dari semua indra tubuhku. Nafasku menghembus keras dan panas. Tangan dan kakiku sungguh kaku. Panas, sakit.
“Hades, hentikasn, aku tak kuat lagi!” aku mulai terisak. Sakitnya tak bisa kutolerir lagi.
“Diamlah. Ini tak akan lama lagi.’
Hades benar. Setelah ia selesai berucap, semua sakit dan panas yang membakarku mulai berkurang. Kini hanya ada denyutan kecil di kepalaku. Lama setelahnya, baru denyutan itu hilang. Begitu juga rasa sakit dan panas yang membakarku.
Hening. Hanya suara nafasku dan nafasnya yang terdengar.
“Bagaimana perasaanmu?”
“Lebih baik. Jauh lebih baik. Terima kasih, Hades.”
“Senang dapat membantumu, Belissima.”
“Bagaimana wajahku? Apakah aku telah kembali seperti semula?”
“Kau bisa melihatnya sendiri nanti. Aku sudah gatal ingin membawamu pulang dan memberimu ruang beristirahat yang nyaman.”
“Aku menurut saja padamu, Hades. Aku terlalu lelah untuk membantahmu.”
Dia tersenyum girang, “Mengapa tak dari dulu kau patuh padaku, semua akan terasa jauh lebih mudah untuk kita.’
“Bisakah kau menyimpan kegiranganmu untuk nanti saja? Aku lelah, Hades.’
“Maafkan aku. Ayo kita pulang.”
“Ayo kita kembali ke istanamu. Bukannya pulang, Hades Rumahku bukan di sini.
Hades mengatupkan bibirnya rapat.
“Keras kepala.” Ia mendesis pelan.
Aku mengabaikannya. Ia membopongku dan membawaku di atas kereta kencananya yang di tarik empat kuda besar-hitam yang abadi. Kita memulai perjalanan ke istananya. Aku ingin tidur di pelukannya. Harum. Aku pejamkan mataku sampai aku agak tertidur.
“Persephone?kita sudah sampai. Lanjutkan saja tidurmu. Aku akan membawamu ke kamarmu.”
“Terserah padamu.” Aku setengah mengigau dan mengencangkan tanganku pada lehernya. Nyaman sekali di sini.
Sepertinya aku mendengar dia terkekeh dan..mengecup dahiku. Ia menggendongku dengan mudahnya seperti aku bukan tandingannya. Kita berjalan ke kamarku. Aku merasa direbahkan di atas kasur. Berat sekali rasanya mataku. Dan bayang bayang pusaran tadi kembali menakutiku. Aku mengkerut saat mengingat rasa sakit yang di timbulkan kutukan itu. Makhluk berkepala banteng tadi. Ahh..
“Ada apa, Persephone?”
“Aku masih merasakan sakit dari pencabutan kutukan tadi. Dan, oh, Makhluk  apa tadi yang berusaha membuatku menjadi makan siangnya? Dia sungguh menjijikan!”
“Untuk itulah aku membawamu kesini, beristirahatlah sejenak, sayang. Dan, makhluk apa yang kau bicarakan itu? Seperti apa dia?”
“Dia berkepala banteng. Berbadan manusia tapi berekor kalajengking. Apa itu, Hades?”
“Itu penjaga ternakku.” Dia tersenyum lemah. “Maafkan aku, lain waktu akan aku beri dia pelajaran untuk menghormati calon ratunya.”
“Kau? Punya ternak?” aku melongo heran.
“Setiap kerajaan harus punya ternak untuk menghidupi kerajaan itu. Tapi ini bukan jenis ternak menggemaskan yang biasa kau lihat.” Bibirnya terangkat sebelah. Puas menikmati keherananku.
“Apakah kau mau menunjukannya padaku?”
“Suatu saat nanti, Persephone. Sekarang beristirahatlah. Aku tak mau melihat kerutan lagi di dahimu karena kau kekurangan waktu tidur yang berkualitas.” Nada bicaranya kembali seperti biasa. Seperti memerintah dan mengatur. Dasar gila kekuasaan. Aku memejamkan mataku, menikmati waktu yang berlalu sejenak.
Setengah terlelap, tapi aku masih merasa dia mengusap dahiku perlahan. “Tidur yang nyenyak, Persephone.”
“Hades?” Aku berkata lirih. Setengah mengigau.
“Ya?”
“Terimakasih.” Dan aku terlelap dalam tidur.
******
To Be Continued :)

You May Also Like

0 komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar :)