Underworld (Chapter 5)
Uuugh,
ada apa ini? Kenapa rasanya sangat sempit dan sesak? Tidak lagi nyaman untuk
tidur, dan aku rasa sudah tercukupi kebutuhanku akan tidur yang lelap. Aku
membuka mataku dan memutar kepalaku kebelakang. Hades masih terlelap di balik
punggungku sambil memelukku. Pantas saja begini sesaknya, dia memelukku seperti
aku adalah kado ulang tahun pertamanya seumur hidup. Begitu erat dan posesif,
melingkarkan kedua tangannya di atas perutku.
Aku
melepas kedua tangannya, kemudian membalik tubuhku perlahan, agar tidak
membangunkannya. Suara nafasnya teratur dan tenang, wajahnya yang pucat
terlihat datar, cenderung kekanankan. Jantungku mulai berdetak aneh dan
menimbulkan perasaan nyeri yang nikmat keseluruh tubuhku. Aku tergoda untuk
menelusuri wajahnya dengan ujung jemariku. Kuletakkan jari telunjukku ditulang
pipinya. Bergerak perlahan berpindah menuju hidungnya, dan kembali ke kelopak
matanya. Alisnya hitam lebat seperti rambutnya, dahinya seperti pualam. Tidak
ada lagi kerutan disana seperti biasa. Kupindah jemariku menelusuri kembali
tulang hidungnya, menuju bibir merahnya. Bibir itu sedikit membuka saat aku
meletakan jariku di atasnya. Lembut dan ada kehangatan disana. Bibir yang
dengan kurang ajarnya pernah mencuri ciuman pertamaku. Aku melepas jemariku
dari wajahnya, tapi tak kulepas pandanganku dari wajahnya.
Hatiku
menghangat ketika pertanyaan tak terundang itu menelisik benakku. Selama ini
Hades memperlakukanku dengan baik dan sopan, tak mencoba melukai atau
menodaiku. Ada pendar hangat dikedua bola matanya jika aku beradu pandang
dengannya walau hanya sedikit. Rasa cemburunya yang tidak masuk akal dan perlakuan
cuek-tapi-perhatiannya padaku. Menyelamatkan hidupku dari gembala ternaknya
yang lebih buruk dari setan manapun. Seakan akan dia begitu memujaku, melindungiku
dari semua bahaya. Aku cukup tersanjung dengan sikapnya terhadapku.
Sesaat
Hades bergerak sedikit, megambil nafas panjang dan terbangun dari tidur.
Matanya terbuka dan langsung terpancang pada mataku. Aku tersenyum tipis
padanya. Kita masih terdiam, mungkin dia masih mengalami disorientasi pikiran
setelah tidur agak lama.
“Persephone.”
Akhirnya dia menemukan kesadarannya.
“Hai
Hades,” aku kembali tersenyum tipis padanya.
“Bagaimana
tidurmu? Nyamankah?”
“Sangat
nyaman, sebelum kau melilitku dengan kedua tanganmu,” aku nyengir lebar.
Memamerkan deretan gigiku kepadanya dan dia tersenyum sedikit geli.
“Maafkan
kau. Aku tak sadar saat melakukannya.”
“Bukan
masalah kok. Tenang saja.”
“Bolehkah
aku memelukmu lagi?”
“Tidak,
Hades. Kau punya banyak tugas hari ini.” Aku memanyunkan bibirku seperti
kebiasaanku.
“Ahh,
kau benar, gadis pintar. Aku ini memang dewa yang cukup sibuk.” Lagi lagi dia
mengusap dagunya dengan gaya yang arogan dan matanya memancarkan kilatan jahil
padaku.
“ Sombong
sekali kau.”
“Aku
hanya bangga dengan pekerjaanku, nona.”
“Terserah
apa katamu.”
Dia
tersenyum separo padaku dan mengusap rambutku.
“Berganti
pakaianlah, Persephone. Kau terlihat sungguh kotor.”
“Kalau
begitu keluarlah dari sini.”
“Baiklah,”
dia bangkit dari kasur dan berjalan menuju pintu. “Panggil aku jika kau sudah
selesai. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padamu.” Tanpa menunggu jawabanku
dia langsung melangkah keluar dari kamar dan meuntup pintunya.
Aku
berjalan perlahan menuju lemari pakaian dan memilih pakaian mana yang aku
kenakan. Pilihanku jatuh pada gaun berwarna merah darah, pas di tubuhku lagi.
Bagian lengannya panjang namun menerawang karena bahannya yang tipis. Di
sekitar bagian dada dan selangka terdapat banyak kerutan dan sulaman benang
emas yang rumit. Indah sekali gaun ini. Tidak membuat gerah dan nyaman
memakainya.
Aku
berjalan keluar kamar hendak menemui Hades. Aku membuka pintu dan dia sudah
berada didepan pintu kamarku, memegang sebuah kotak hitam yang dilapisi kain
beludru.
“Warna
merah ternyata cocok juga di kulitmu. Kau terlihat berpijar hangat, sayang.”
“ Terimakasih,”
semburan merah menyelubungi kedua pipiku.
“Berbaliklah.”
Dia memerintahkanku dengan ekspresi yang datar.
“Apa?
Mau apa kau, Hades?”
“Turuti
saja perintahku.”
Aku
berputar memunggunginya dengan penuh tanda tanya. Mau apa lagi dia?
“Sibakkan
rambutmu kesamping.” Kuturuti lagi perintahnya, aku menyampirkan rambut
panjangku ke bahu sebelah kiriku lagi lagi dengan penuh pertanyaan. Aku
mendengar dia membuka kotak itu dan berjalan mendekatiku.
Tak
terduga, dia mengalungkan sebuah liontin di leherku. Aku melihat liontin itu,
Demi Gaia, liontin ini memiliki bandul dari berlian sebesar telur burung puyuh.
Rantai emasnya seperti ular, mengkilap dibawah pendar lilin dan obor yang ada
di lorong ini. Aku menyentuh berlian itu derngan takjub.
“Mengapa
kau memberiku barang semewah ini?”
“Aku
berjanji pada diriku sendiri untuk memberi kalung ini pada calon istriku. Aku
telah menemukan seseorang yang tepat bagiku. Kau. Kaulah yang aku inginkan.”
“Apa
ini tidak terlalu berlebihan, Hades?” aku terheran heran dengan hadiah ini.
“Aku
menguasai dunia bawah dan sumber mineral yang terkandung di dalamnya. Berlian
bukan hal sulit untuk di dapatkan di kerajaanku, Persephone. Pluton adalah nama
lainku, yang mana artinya adalah kekayaan” senyum pongah terukir di wajahnya.
Aku
mengerti, Raja yang kekayaannya tak dapat didefinisikan. Tapi bagaimanapun, ini
hadiah yang sangat menyentuh.
“Liontin
ini cantik sekali, Hades. Terimakasih.” Aku berjinijit dan mencium pipinya
sekilas.
“Terimakasih
kembali, Persephone.” Hades tersenyum tipis.
Kita
terdiam sesaat dalam pikiran kita masing masing. Aku tenggelam dalam lamunanku.
Apa yang akan ibu katakan seandainya dia tahu ada orang yang menyerahkan
berlian sebesar ini sebagai hadiah? Tentu saja dia akan merenggut dan
mengembalikannya kepada pengirimnya. Aku tak mau itu terjadi pada liontinku.
Aku menggenggam liontin ini erat erat.
“Apa
boleh aku mengajakmu berjalan jalan?”
“Kemana
kau akan membawaku?”
“Padang
Asphodel.” Katanya datar.
“Mau
apa kita di sana?”
“Tak
ada. Hanya berjalan jalan saja.”
“Baiklah.
Apa ini sejenis ajakan berkencan?”
“Teori
yang menarik. Apakah ini yang disebut dengan berkencan?”
“Bisa
jadi begitu. Entahlah.”
Hades
menyunggingkan senyum paten miliknya. Senyum yang angkuh tapi aku mulai
menyukainya. Dia menggamit tanganku tanpa bicara dan menarikku keluar dari
istananya. Kita melewati sebuah kebun yang entah bagaimana bisa tumbuh di underworld seperti ini.
“Kau
punya kebun?” aku sungguh takjub dengan fakta ini.
“Ya.
Aku punya kebun delima. Hebat bukan?”
“Lagi
lagi kau bersikap sombong,” aku menggerutu dan dia hanya tersenyum saja.
Kita
berjalan melewati kebun ini. Kebun ini tidaklah luas, melewatinya tidak memakan
banyak waktu. Aku masih menggenggam tangan Hades saat ada suara bergemerasak di
belakang kami. Tubuhku menegang.
“Hades,
apa itu? Apakah itu gembalamu?” aku mencicit ketakutan di balik punggung Hades.
Ohh tidak tidak, aku tak mau bertemu dengan gembala Hades yang sinting itu!
Tapi
Hades hanya memutar kepalanya sedikit dengan raut muka yang bosan. Mulutnya
terbuka dan berteriak, “Askalafos! Berhenti membuat kegaduhan! Kau membuat
calon ratumu ketakutan!”
Suara
bergemerasak tadi seketika berhenti. “Siapa itu Askalafos, Hades?”
“Dia
penjaga kebunku. Kau tak perlu khawatir, dia tak akan mengganggumu.”
Munculah
Askalafos, dengan tubuhnya yang tegap namun wajahnya menunduk khidmat dan penuh
penghormatan pada Hades. “Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba hanya sedang
berpatroli di sekitar kebun.”
“Permintaan
maafmu kuterima. Kembalilah bekerja.” Tukas Hades sedikit jengkel.
Askalafos
mengangkat kepalanya sedikit dan menatap kearahku. Mata esnya mengamati wajahku
dan ada sedikit gurat terkejut di wajahnya. “Yang mulia, diakah calon ratu
hamba?” tanya Askalafos.
Hades
menarikku dan memeluk pinggangku dari sampingku. “Ya, Askalafos. Dia kekasihku.
Ratu Underworld.” Ada nada puas dari
tutur katanya.
“Jika
Hamba boleh bertanya, diakah putri Demeter yang jelita itu, Yang mulia?”
matanya masih mengawasiku. Aku risih dengan tatapan matanya yang tajam, aku
menundukkan kepalaku. Dan Hades melihat tatapan mata Askalafos tadi.
“Lancang
sekali kau menatap kekasihku dengan tatapan tak sopan semacam itu!” bentak
Hades dan matanya berkilat penuh amarah. Aku mengkeret ketakutan di samping
Hades, pria ini tampaknya akan segera memuntahkan magmanya keluar. Askalafos
berhenti menatapku dan kembali menunduk, merasa bersalah.
“Ampuni
hamba, Tuan. Hamba tidak bermaksud tidak sopan kepadanya.” Askalafos memohon
maaf sekali lagi pada Hades.
“Lalu,
apa yang mengganggu pikiranmu?” tukas Hades jengkel.
“Dunia
atas, Yang Mulia. Hamba hanya khawatir mengenai dunia atas..” Askalafos
mengatupkan bibirnya dan tidak berani melanjutkan perkataannya. Hades berjengit
sesaat. Alisnya terangkat dan gestur tubuhnya menampakan ketidak nyamanannya.
Ada apa dengan dunia atas? Apa yang Hades sembunyikan?
Hades
mengeluarkan senyum angkuhnya, tatapan gelapnya menguasai bola matanya. “Itu
akan menjadi hal yang sangat menarik, Askalafos. Pergilah.”
Askalafos
membungkukkan badannya, membalikan tubuh dan menghilang di balik rimbunnya
kebun ini.
“Jangan
bertanya apapun padaku, Peresphone. Paham?”
Curang
sekali dia, melarangku bertanya mengenai hal sepenting ini.
“Aku
hanya tak ada perdebatan di antara kita. Simpan saja pertanyaanmu, sebelum
mulut pintarmu membuatku jengkel.”
Dia
bahkan seakan membaca pikiranku. Jadi, sekarang siapa yang menjengkelkan? Aku
mengatupkan bibirku. Benar benar sebal padanya. Kita berjalan dalam keheningan
yang tidak nyaman. Aku membiarkan dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Begitu
juga aku. Aku mengamati sekelilingku, tak ada hal mengerikan seperti kejadian
kemarin. Di sini begitu tenang. Aku jadi tergelitik untuk mengetahui dimana
kita berada sekarang. Tapi ku tahan keinginanku, masih terlalu kesal untuk
mengajaknya berbicara.
“Persephone?”
Hades memanggilku hati hati.
“Apa?”
Aku menjawab dengan galak. Bukannya tersinggung dia malah tertawa pelan.
“Kau
harus melihat ekspresi wajahmu barusan. Kau sungguh seperti balita yang
kelaparan. Benar benar menggelikan.” Kata Hades dengan riang.
“Berhentilah
menggodaku, kau menyebalkan!” aku menyemburnya dengan jengkel. Hades hanya
tersenyum sebelah dan menangkup pipi kananku. “Gadis pemarah, hentikan semua
kejengkelanmu. Kita telah sampai di Padang Asphodel.”
Mataku
membulat lebar dan aku mengedarkan pandangan kesekelilingku. Padang ini
didominasi warna emas dari daun dan rerumputan yang menguning. Seperti ladang
gandum ranum yang siap di panen. Banyak roh roh yang sedang melakukan aktifitas
normal seperti di dunia. Ada yang sedang menggembala beberapa ekor domba. Ada
yang sedang memotong rumput dan bahkan ada roh wanita yang sedang memetik bunga
dan memakan beberapa di antaranya. Mereka tidak terlihat menakutkan, mereka
terlihat manusiawi.
“Hades,
apa yang mereka perbuat sampai mereka tidak tampak menderita di Underworld ini?” aku bertanya dengan
heran.
“Mereka
adalah roh roh yang memiliki kejahatan dan kebaikan yang imbang, netral. Di
sini mereka melakukan tugas harian yang aku titahkan kepada mereka melalui tiga
hakim pengadilanku.” Hades menjelaskan sambil menikmati Padang ini.
Aku
berjalan, menelusuri rerumputan dengan tanganku. di dekatku nampak tumbuh
sebatang bunga cantik berwarna merah yang semakin kepusat semakin berwarna
lebih muda. “Bunga apa ini?”
“Itu
bunga Asphodel, Persephone. Roh roh di sini menjadikannya makanan favorit.”
“Bolehkah
aku memetiknya?” pintaku berharap.
“Sebanyak
yang kau mau, nona.”
Aku
tersenyum riang dan memetik bunga sambil bersenandung riang. Hades duduk di
bawah pohon, memperhatikanku dari jauh selagi aku menumpuk belasan bunga cantik
ini dilenganku. Setelah puas, aku kembali kedekat Hades dan duduk di dekatnya.
Kumulai untuk merangkai beberapa bunga ini menjadi sebentuk mahkota untukku.
Aku menggunakannya dan memamerkannya pada Hades.
“Bagaimana
penampilanku?” aku tersenyum riang.
“Kau
terlihat seperti vas bunga di dekat perapianku.” Wajahnya menampilkan ekspresi
jijik yang kekanakan, namun ada kedut tawa di sudut bibirnya.
“Kau
benar benar harus di ajarkan sopan santun. Dalam sehari kau sudah membuatku
jengkel berpuluh puluh kali. Sungguh aku ingin menghabisi wajahmu, Hades.”
Tukasku jengkel.
“Aku
senang menggodamu.” Hades membela diri dengan wajah datar. “Kau terlihat
menggemaskan saat marah.”
Aku
memutar bola mataku. Dan Hades melihatnya. O ohh.
“Apa
kau memutar bola matamu, Peresphone?”
“Tidak,
Hades. Kau berhalusinasi saja.”
“Sudah
aku katakan memutar bola mata itu sangat tidak sopan.” Dia menggerutu cukup
keras.
“Mengatakan
seorang gadis seperti vas bunga lusuh miliknya jauh lebih tidak sopan, Hades.”
“Kalau
begitu, kita impas.”
“Ini
bukan impas, ini pemaksaan kehendak, bodoh.”
“Aku
tidak memaksakan kehendakku. Aku hanya memberi alternatif kata, Persephone”
Aku
kesal dan melempar sekuntum buinga Asphodel padanya, dan bunga itu perlahan
lahan mengering begitu mengenai jubah Hades.
“Selalu seperti itukah?” aku menunjuk kuntum bunga malang yang kini
sudah layu itu.
Hades
menjawab sambil lalu dan dengan keengganan yang nyata, “Ini jauh lebih baik.
Dulu bunga yang menegenaiku akan segera berubah menjadi serbuk abu,” Hades
menghadap wajahku dan menatap kedua mataku. “Aku hanya berharap bunga yang satu
ini tidak akan layu atau menghilang jika berdekatan denganku.”
“Tidak
layu ataupun hilang, hanya akan mengeluarkan bola bola api saat kau berusaha
menggodanya lagi denga cara yang kekanankan.”
“Baguslah
kalau begitu. Itu akan sangat menyenangkan, melawan bola bola api payahmu itu.”
Hades menjepit ujung hidungku dengan keras. Aku mengaduh dengan lantang, tapi
dia tak menghiraukannya.
“Hades!
Ini sakit, tahu!” Aku menutup ujung hidungku, tampaknya hidungku memerah karena
jepitan jari dinginnya.
“Aku
tak peduli.” Hades hanya terkekeh pelan. Aku melotot ke arahnya. Menyebalkan!
“Kau
benar benar gadis yang galak, Persephone.”
“Aku
hanya akan bersikap manis jika kau tidak menyebalkan seperti ini.” Aku
memanyunkan bibirku.
Hades
lagi lagi hanya tersenyum singkat. Kami berdua kembali terdiam. Dia mengambil
tanganku dan menggenggamnya erat. Tarikan nafasnya terdengar sangat tenang dan
teratur.
“Apa
warna kesukaanmu?” Tanya Hades dengan rasa ingin tahu. Pertanyaan yang tak
terduga, sungguh. “Orange, cokelat dan biru. Mengingatkanku pada warna alam di
dunia atas, Hades. Ada apa?”
“Begitu
rupanya.” Hades mengangguk pelan. “Lalu bagaimana dengan bunga? Apa kau
menyukai bunga? Bunga apa?”
Bibirku
mencebik pelan, “Kau ini rabun atau bagaimana? Kau sudah lihat aku begitu
bersemangat saat memetik berbagai macam bunga, bukankah itu sudah menjadi
pertanda bahwa aku mencintai bunga? Aku suka semua jenis bunga. Tapi yang
menjadi favoritku adalah bunga Lili.”
Kembali
Hades menganggukan kepalanya. “Bunga Lili, baiklah.”
“Ada
apa sebenarnya, Hades?”
“Tidak
ada.” Hades kembali memasang wajah datar tanpa ekspresi, yang tak bisa di tawar
lagi. Dia tak akan menjawab pertanyaanku. Aku merengut dan melepas pelan
genggaman tangannya pada tanganku. kuambil beberapa batang bunga dan kembali
merangkainya lagi, aku akan meletakannya di kamarku untuk memberi sentuhan
warna pada ruangan itu.
“Sudah
saatnya kita kembali, Peresphone.” Ia berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.
Aku mmenyambut tangannya dan kita berjalan beriringan menuju istananya.
Setelah
beberapa waktu, kita akhirnya sampai ke istananya. Perjalanan kembali terasa
lebih singkat di banding saat berangkat tadi. Aku lelah, tapi aku bahagia, underworld tidak seburuk yang selama ini
di kisahkan.
“Hades,
bolehkah aku membawa satu guci kecilmu ke kamarku? Aku ingin meletakan bungaku
di sana.” Aku menunjukan rangkaian bungaku padanya.
“Silahkan
saja, semua yang ada di sini adalah milikmu juga. Ambil yang kau suka.”
Aku
berjalan menuju lemari besar yang berisi belasan guci cantik. Aku mengambil
yang paling kecil namun berwarna paling cerah. Kuletakkan bungaku di guci ini,
menatanya sebentar dan membawanya menuju kamarku. Kemana harus kutaruh guci
ini? Aku mengedarkan pandangan kesekeliling kamarku, dan kuputuskan menaruh
guci ini di atas perapian. Aku tersenyum senang, sekarang kamarku terlihat
cantik.
Aku
berjalan menuju meja rias dan bercermin. Wajahku memucat,mungkin karena lama
tak tertimpa sinar matahari. Rambutku tak ada yang berubah, masih sama seperti
dulu, coklat kemerahan seperti jalinan tembaga. Liontin yang diberikan oleh
Hades masih saja memikatku. Aku menggenggam bandul kalung itu dengan takjub
karena keindahan pendar pelangi yang di biaskan oleh berlian ini. Cantik
sekali.
“Kulihat
kau sangat meyukai hadiahku, bukan negitu, Persephone?”
Hades
berdiri di ambang pintu kamarku, menyandarkan sebelah bahunya di kusen pintu
itu. Wajahnya terlihat tenang dan mengamati wajah dan tubuhku dari ujung rambut
hingga ujung kuku kakiku.
“Aku
sudah pernah katakan kalau aku menyukainya, ini hadiah yang sangat cantik,
Hades. “ aku tersenyum manis kepadanya. Hades berjalan mendekat ke arahku.
Sambil berjalan ia berkata, “Berlian itu tak ada apa apanya di banding
kecantikanmu.”
“Kau
hanya menggombal, Hades. Predikat perayu ulung sejagat raya dapat tersemat di
belakang namamu.”
Hades
mengangkat sebelah alisnya, “Kau tak bisa berkata seperti itu, kalau kau bisa
melihat apa yang aku lihat sekarang, kau akan mengerti mengapa aku memujamu.
Kau sempurna.”
“Aku
tak pernah mengerti kenapa kau begitu menyukaiku.” Aku menghembuskan nafas
pelan, entah hal ini harus membuatku senang atau berduka. Kesukaannya padaku
membuatku terpisah dari ibuku.
“Aku
tidak menyukaimu, Persephone.” Kata Hades dengan datar. Aku mengangkat wajahku
dan melihat kedua matanya. apa maksudnya itu?
“Aku
mencintaimu. Suka tidak akan cukup untuk mendefinisikan perasaanku padamu.”
“Kenapa
kau mencintaiku?” Aku bertanya dengan penuh tanda tanya dibenakku.
“Semua
yang ada padamu, meracuni semua visi kehidupanku. Kecantikanmu, bernilai lebih
daripada Aphrodite yang tidak berotak itu. Mulut cerdasmu begitu memikatku, kau
menawarkan berbagai hal yang belum pernah aku cicipi sepanjang eksistensiku
sebagai Raja dunia bawah.”
Dia
maju mendekatiku lagi,kita hanya berjarak beberapa centimeter. Kedekatannya
membuat jantungku menghangat, tubuh harumnya manis memabukkan. Dingin dan
hangat. Suhu kita yang berbeda memunculkan aliran listrik tak terlihat diantara
kita. Aku memeluk diriku sendiri, merasa tak nyaman. Ini rasa tak nyaman yang
menyenangkan, aku ingin menjauh, tapi aku ingin mendekat. Serba salah, mukaku
memerah. Kutundukkan kepalaku, menggigit bibirku.
Dia
tak berbuat apa apa saat kita berdekatan seperti ini, hanya menatap mataku
lewat rambutku yang terurai jatuh ke dahi,menutup sebagian mataku. Tangannya
terulur dan menempelkannya pada wajahku, memalukan, wajahku terlihat begitu
kecil diantara kedua tangannya.
Hades
mengangkat wajahku dan mendekatkan wajahnya pada wajahku. Ia membawa bibirnya
pada dahiku, menngecupnya dengan perlahan, seakan aku serapuh lapisan kaca
tipis. Aku memejamkan mataku, merasakan nafasnya di rambutku, tangannya di
kedua pipiku, bibirnya di dahiku. Waktu
berderak terlalu cepat, dia melepas bibirnya dari dahiku. Tidak tidak tidak,
jangan lepas dariku!
“Ini
sudah memasuki waktumu untuk beristirahat. Pergilah tidur.” Hades menempelkan
dahinya pada dahiku sambil memejamkan matanya.
“Kau
akan pergi kemana?” Aku merajuk sedih.
“Aku
tidak akan kemana mana.” Hades mengangkat wajahnya dan tersenyum miring. “Tidurlah,
Persephone. Mimpikan aku.”
Dia
berbalik dan berjalan menuju pintu. Tersenyum sekilas sebelum meutup pintu
kamarku. Kini aku sendirian di ruangan ini.
Kasur
tak terlihat begiru menarik untukku sekarang, tapi kupaksakan tubuhku berbaring
di kasur itu. Kelambunya sudah berganti, begitu juga seprainya. Menjadi
berwarna merah marun, warna yang terlihat kontras dengan ruangan ini yang
temaram.
Kupejamkan
mataku, dan bayang Hades muncul dibalik kelopak mataku. Wajahnya pucat, bibir
merahnya melekuk, menghipnotisku. Rambutnya mulai memanjang dari saat kita
pertama bertemu. Penculikku mulai menyihirku dengan pesonanya, dan aku tak
kuasa menolaknya. Aku merindukan sinar Helios di kulitku, tatapan penuh kasih
ibuku, hewan liar yang mampir disekitarku. Tapi aku masih inigin berada di
sini. Tempat ini mulai menyenangkanku, banyak hal baru yang dapat aku pelajari
di sini. Ada secarik kebahagiaan, bersama pria yang baru aku kenal. Gila
memang, tapi ini kenyataannya.
Aku
menemukan kebahagiaan versi lain di sini.
****
To be continued :)
0 komentar
Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar :)