Underworld (Chapter 8)

by - 23.18.00



Aku membuka kelambu dan masuk kedalam kenyamanan kasurku. Memejamkan mataku, merasa dikuasai oleh rasa lelah setelah seharian mendampingi Hades. Lamarannya berputar di kepalaku berkali kali.
Hades bukan pria yang baik untuk semua orang. Jiwanya sudah segelap Tartarus, begitulah kabar burung yang beredar. Tak pernah dia berbelas kasih kepada roh roh yang datang ke Underworld. Egois dan tak berperasaan. Dia menculikku, dan menebar pesonanya padaku hingga aku terjerat. Dan aku tak bisa menghindar dari perangkapnya yang manis ini.
Aku terus bergelung dalam kasurku, memikirkan matang matang semua pilihan yang ada. Dan ternyata, yang ada hanyalah tak-ada-pilihan. Memang benar kata Hades, ibuku jelas akan menolak bila ia datang kepadanya dan mengatakan ingin menikahiku, tapi itu kan yang selalu di lakukan ibuku kepada setiap pria yang mendekatiku? Jadi buat apa aku memikirkan pendapat ibuku?
“..Berhentilah memikirkan pendapat orang lain, bahagiakanlah dirimu sendiri terlebih dahulu”
Kata kata Hades terngiang di benakku. Selama ini aku bahagia bersama ibuku. Dia memberi segala yang aku mau, kecuali cinta dari lawan jenis. Ia ingin agar aku selalu menjadi miliknya. Dan Hades menawarkan kebahagiaan yang aku dambakan itu, dengan penuh resiko tentu.
Cintakah aku padanya? Ya, aku mencintainya. Sejujurnya aku bahagia di sini, bersamanya. Mulut pembualku awalnya mengatakan kalau aku tak yakin aku akan bahagia di sini. Semakin bergulirnya waktu, aku semakin tak yakin kalau aku tak bisa bahagia di sini.
Aku seperti memiliki dua kepribadian dan dua jiwa dalam satu tubuh. Dilema antara tetap tinggal atau kembali, yang menyiksaku semakin dalam.
“Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi.”
Hades tak akan membiarkanku menolak lamarannya atau melepaskanku ke upperworld. Membuat harapanku dapat kembali semakin sempit. Menjalin hubungan dengannya sebagai kekasih tak sesulit menjadi pengantin abadinya. Haruskah aku korbankan kemerdekaanku atas upperworld demi dapat berdampingan dengan pria yang aku cintai?

Pintu terketuk saat aku membuka mataku. Ohh, aku langsung terbangun dan merasa bingung sesaat. Aku tertidur saat kepalaku penuh dengan pertanyaan dan pertimbangan, rasanya seluruh ruangan ini berputar di mataku. Aku memejamkan mata, terlihat seakan kunang kunang berhamburan di balik kelopak mataku.
“Siapa pun yang ada di balik pintu, tunggu sebentar.” Aku berkata pelan, kuharap dia mendengarnya.
“Baik, nona.” Suara perempuan tua, oh, pelayan Hades. Mau apa dia ke sini? Aku membuka mataku, tidak merasa lebih baik. Keringat dingin sedikit mengucur dari dahiku.
“Masuklah, tolong aku..” Aku berkata lemah. Pusing sekali kepala ini.
Pelayan itu membuka pintu perlahan dan mauk ke dalam kamar. Aku tak bangkit atau mengubah posisi tidurku, aku terlalu lemas untuk bangun.
“Nona? Apakah nona sakit?” Pelayan mendekat ke kasurku, dia terlihat panik dan iba melihatku. Kunang kunang di mataku satu persatu mulai menghilang.
“Aku tak tahu, badanku tak begitu nyaman. Aku merasa pusing.”
Dia menatap wajah pucatku, dan mengangkat tangannya hendak mengukur suhu tubuhku, “Bolehkah?”
Aku mengangguk lemah. Dan ia menempelkan tangannya pada dahiku. “Suhu tubuh nona normal saja. Perlukah hamba buatkan sesuatu untuk menyegarkan nona?”
“Tidak , itu tidak perlu. Kau boleh pergi, aku hanya kelelahan.”
“Baik, nona. Sebelumnya hamba hendak menyampaikan pesan dari Yang Mulia, nona ditunggu di Balkon istana. Tapi apabila nona tak menyanggupinya hamba akan menyampaikan pesan nona kepada Yang Mulia Raja.”
“Aku akan ke sana, jangan khawatir. Aku hanya perlu waktu saja. Di mana Balkon Istana itu?”
“Di lantai dua istana ini, nona. Di aula terdapat tangga yang akan langsung mengarah ke Balkon Istana, nona bisa melewatinya.”
“Baiklah. Kau boleh pergi.”
Pelayan itu menunduk hormat, berbalik menuju pintu  dan keluar. Aku menyeret kakiku menuju kamar mandi. Aku langsung masuk dan menuju pancuran. Gemericik airnya menenangkanku. Aku melepas pakaianku dan berdiri di bawah guyuran air, memisahkan jalinan rambutku dengan jariku agar tidak kusut. 
Aku membersihkan tubuhku selama mungkin, mengulur waktu agar tak perlu cepat cepat memberi jawaban kepada Hades. Aku menuang minyak mawar dan mengusapkannya keseluruh tubuh, memijat dan merilekskan tubuhku. Puas berada di pancuran, aku nelangkah menuju kolam pemandian kecil di sudut kamar mandi itu. Berendam sejenak tampaknya akan terasa menyenangkan, pikirku. Aku menabur kelopak Lily putih ke dalam kolam itu dan aku masuk ke dalamnya. Mataku terpejam menikmati aroma dan kesegaran yang menyelubungiku. Hilang sudah kunang kunang yang sedari tadi mengikuti bola mataku.
Dengan memanjakan diri seperti ini aku harap aku bisa berfikir jernih dan waras -dan berhenti membual-  jika bertemu Hades nantinya.
Selesai berendam aku langsung mengeringkan tubuhku. Aku lilitkan kain panjang ke tubuhku dan aku berjalan keluar ke kamar mandi, hendak mengambil pakaian baru di lemari. Nampaknya pakaian di sini tak pernah ada habisnya. Setiap harinya aku mengenakan pakaian yang berbeda beda. Tampaknya Hades tak menginginkan aku terlihat memakai pakaian yang sama lebih dari sekali.
Aku sedang menyukai warna putih hari ini, jadi aku pilih pakaian yang berwarna putih bersemburat merah muda. Ini lebih cocok disebut gaun ketimbang pakaian sebenarnya. Aku memasukan gan itu ke melalui kepalaku. Saat aku memutar tubuhku dan bercermin, aku baru sadar kalau bagian punggung dari gaun itu terdiri dari tali yang harus di serut dan di ikat satu persatu, terlihat seperti korset yang digunakan manusia perempuan. Bagaimana bisa mereka mengenakan pakaian ini seorang diri? Dan mengapa mereka terpikir untuk menciptakan pakaian semacam ini? Menyusahkan diri sendiri saja.
Aku berusaha mengikat tali itu satu persatu seorang diri ketika pintu terketuk kembali.
“Syukurlah, tolong masuk dan bantu aku mengikat tali gaun ini!” Aku pikir itu adalah pelayan yang tadi masuk, namun aku salah. Hadeslah yang mengetuk pintu, ia masuk dengan senyum separonya. Mukaku memerah karena kesalahan ini dan aku berhenti mengikat tali gaunku.
“Ahh, Hades, maafkan aku, aku kira tadi itu pelayanmu.”
‘Sedang apa kau di sini? Bukankah aku memintamu datang ke balkon istana?”
“Aku.. sedang menikmati waktuku sebagai perempuan tadi.” Parasku memerah dan aku menundukan kepalaku. Alis Hades terangkat satu, “Waktu sebagai perempuan?”
“Ya, aku membersihkan tubuhku dan mengganti pakaianku, tentu.”
“Aku mengerti. Lalu, apa yang sedang kau lakukan sekarang?” Hades mengamatiku dan gaunku.
“Berusaha mengenakan gaun ini dengan benar, aku tak mahir bersolek apa lagi memakai pakaian semewah ini.”
“Lalu kenapa kau memilih pakaian lain yang lebih sederhana saja?”
“Aku menyukai warna gaun ini.” Aku menjawab dengan polosnya, dan Hades tersenyum mendengar jawabanku.
“Berbaliklah, aku akan membantumu.”
Aku memutar tubuhku dengan ragu, menggigit bibir bawahku ketika tangannya mulai mengambil tali gaunku dan menyerutnya. Jemarinya terkadang menyentuh punggung telanjangku ketika mengambil dan mengikat tali tali tersebut. Aku memejamkan mata kehijauanku, tanganku menggengam satu sama lain, aku gugup sekali.
“Hades?” Ohh, syukurlah suaraku terdengar seperti biasa.
“Ya?”
“Hal apa yang biasa kau pikirkan?”
Hades terdiam sesaat, dan kemudian dengan tenangnya menjawab “Aku memikirkan banyak hal, secara garis besar aku memikirkan Underworld Keadaan berubah banyak semenjak kau hadir di sini.
“Apa yang terjadi?”
Well, aku tak tahu harus memulainya darimana.”
Please?”
“Berjanjilah kau tak akan marah padaku saat aku memberi tahumu.”
“Aku usahakan.”
Sambil terus menyerut tali tali itu, dia menarik nafas, “Jumlah kematian manusia, makhluk mortal itu, tampaknya semakin meningkat belakangan ini. Mereka mati dengan keadaan kelaparan dan tanpa uang sekoin pun. Banyak dari mereka yang akhirnya tak mampu menyeberangi Styx dengan Charon karena keluarga mereka tak mampu memberi koin kepada orang malang itu. Semua karena..pepohonan dan ladang manusia di bumi tak dapat tumbuh sebagaimana mestinya, sebab..well, ibumu menolak untuk menumbuhkan mereka semua.”
Mataku membulat, “Bagaimana bisa? Mengapa hal itu bisa sampai terjadi?”
“Karena aku mencurimu darinya, dan ia sangat murka. Kupikir kini ia sudah tahu siapa yang membawa pergi putri kesayangannya.”
“Bagaimana dia tahu?”
“Dia pasti sudah menanyakannya pada Helios, Dewa Tua itu melihat segalanya dari kereta kencananya di atas langit sana.”
“Helios melihatmu mencul..em, membawaku ke Underworld?”
“Tentu saja.” Dia tertawa pelan, tawa yang penuh ironi.
“Jadi, kini kau mengalami..lonjakan penghuni underworld?”
“Secara teknis, Ya.”
“Apa itu mengganggumu?”
“Tidak, walau hal ini baru pernah terjadi sepanjang eksistensiku di dunia ini.”
Gerakan tangannya berhenti, rupanya dia telah selesai mengikat gaunku.
“Kau terlihat..menantang, dengan gaun seperti ini.”
Aku menyentuh bagian belakang gaunku, dan aku paham dengan apa yang ia katakan. Punggungku terpampang polos, hanya tertutupi jalinan tali yang ada sampai batas pinggang. Aku merasa pipiku memerah karena ucapannya.
“Jangan berpikir tidak senonoh, Hades.”
“Aku hanya memujimu, apakah itu menyinggungmu?”
“Tidak, aku hanya tak terbiasa dengan pujian semacam itu.”
“Kalau begitu kau harus membiasakannya, karena aku akan sering melakukannya.”
Aku memutar bola mataku, “Sepertinya akan sangat mengasyikan.”
“Kau memutar bola matamu, aku tahu.”
Aku memutar tubuhku, menghadapnnya dan mengangkat sebelah alisku, “Bagaimana kau bisa tahu?”
Dia tak menjawab, hanya tersenyum separo dan menyentuh daguku dengan ujung jarinya. Wajahku terangkat sedikit dan membuat mataku terpancang pada tatapannya yang membuat sendiku seakan terlepas dari tempatnya.
“Segalanya tentangmu telah terekam di sini,” dia mengetuk pelipisnya dengan ujung jarinya yang lain. Aku tersenyum mendengarnya.
“Jadi, bagaimana kabar soal lamaranku, nona?”
“Mengapa kau menanyakannya?”
“Mengapa aku menanyakannya?” Nadanya setengah tak percaya, sedikit terluka. “Aku melamarmu kemarin, dan kau meminta waktu sampai hari ini. Kenapa aku tak boleh menanyakan jawabanmu padahal batas waktu yang di tentukan telah habis?”
“Kau tahu bagaimana aku akan menjawabnya.”
“Aku ingin mendengarnya langsung dari bibirmu.” Matanya berkilat.
“Hades, aku menerima lamaranmu.”
“Hanya itu saja?” Dia menatapku dengan matanya yang membulat.
“Ya, apa lagi yang kau harapkan dari jawabanku?”
“Tidak, itu saja sudah cukup.” Hades tersenyum lebar untuk pertama kalinya. “Bagaimana pun cara kau menjawab lamaranku, tetap saja kita akan menikah.”
“Baiklah, itu terserah padamu.”
“Kalau begitu, lekas kau tukar pakaianmu dengan gaun ini.”
Dia mengeluarkan sapu tangan putih gading dari jubahnya.  Dia menyentuhkan tangannya kepada sapu tangan itu, dan sapu tangan itu membesar, jalinan benang yang hampir tak terlihat menyulam sapu tangan itu. Ketika semua selesai, yang kini terpampang di hadapanku bukanlah sebuah sapu tangan biasa milik Hades.
Ini sebuah gaun pernikahan.
Masih berwarna putih gading dan di hiasi berbagai ornamen, sulaman benang emas, dan renda lembut yang menempel pada bagian pinggang. Ekor gaun itu terlihat cukup panjang, mungkin aku akan nampak seperti bintang jatuh di langit karena ekor itu. Tapi aku lebih khawatir akan menginjak gaunku sendiri ketimbang memikirkan terlihat seperti apa aku ini. Apakah Hades tak memikirkan ini sebelumnya? Seperti biasa, tentu.
“Mengapa aku harus mengganti pakaianku dengan gaun ini sekarang? Bukankah kita akan merencanakan waktu pernikahan dulu?”
Aku mendekat kearahnya dan menyentuhkan tanganku pada gaun itu. Sutra, dan chifon. Favorit Hades untuk tubuhku.
“Ahh, kau benar. Perencanaan waktu belum kita bahas. Dan aku merencanakan pernikahan kita akan berlangsung dua jam kedepan.”
Aku merasa mulutku ternganga lebar mendengar jawabannya.
“Apa kau sudah gila?”
“Tidak.”
“Sinting?”
Dia mendengus dan tertawa pelan, “Apalagi.”
“Tapi kau mengajakku menikah dua jam lagi!” Aku histeris dan mengerang pelan. Menyebalkan, dia hanya melihatku dan tertawa.
“Aku tak dapat menunggu lebih lama lagi untuk memilikimu sepenuhnya. Dua jam itu sangat lama untukku.” Hades menjentikan jarinya, dan tiga pelayan hadir di depan pintu kamarku.
“Kau. Lekas tukar pakaianmu, mereka akan mendandanimu.” Ia memberi gaun itu kepadaku.
“Dan kau?”
“Menantimu di altar. Balkon istana. Dua jam lagi. Dan jangan coba menghindar lagi.” Ia mengingatkanku dengan pelan.
“Baiklah.” Aku menghembuskan nafas. Kehendak Hades tak pernah dapat di ganggu gugat. Dia mencondongkan tubuhnya dan menempelkan bibirnya pada dahiku.
“Sampai nanti, pengantinku.” Dia tersenyum menggodaku, dan aku mengerang mendengar julukan itu.
Setelah Hades keluar, ketiga pelayan itu masuk dan mereka semua membungkuk hormat kepadaku, aku mengangguk kepada mereka.
“Nona, kita yang akan membantu nona bersiap siap. Hamba adalah Geena, ini Norxh, dan ia adalah Aida. Apakah nona ingin membersihkan diri terlebih dahulu?” Salah satu pelayan memperkenalkan dirinya dan kawannya padaku.
“Tidak, aku sudah membersihkan diriku tadi, Geena. Kita bisa langsung mulai.”
Aku menukar pakaianku secepat mungkin, pakaian ini lumayan berat karena berbagai intan terjalin di beberapa bagian. Dan ternyata benar saja, ekor gaun ini panjangnya lebih dari satu rentangan tangan orang dewasa. Aku mencebikan bibirku melihat gaun ini. Indah, tapi terlalu mewah.
“Nona terlihat cantik, gaun ini cocok sekali untuk nona,” Aida memujiku dengan nada kagum yang nyata.
“Gaun ini membuatku terlihat sangat kurus dan pucat, aku bahkan tak sanggup melihat diriku sendiri.” Lagi lagi krisis kepercayaan diri melandaku. Aku selalu terlihat kurus dan putih pucat. Hanya rambut cokelat tembagakulah yang sedikit memperbaiki penampilanku, lembut dan berkilau.
“Tidak nona, tubuh nona sudah sangat proporsional. Kita tidak akan membiarkan nona terlihat buruk di hari pernikahan nona. Mari, kita mulai.”
Aku berjalan dan duduk di depan meja riasku. Norxh mulai menyentuh rambutku, mengurainya perlahan lahan tapi pasti. Terlihat di cermin dia terlihat begitu serius membentuk tatanan rambut untukku.
Sedangkan Aida sibuk membersihkan kuku kuku jari dan kakiku. Dia berusaha melengkungkan ujung jariku, dan hasilnya memang tidaklah mengecewakan. Semua kuku di jari dan kakiku menjadi bersih dan terlihat lentik, terlebih lagi dia memberi pewarna merah kepada semua kukuku.
Geena, memoles wajahku, memberi wajahku berbagai perona. Dia membelah biji buah pinang dan mengoleskan bagian dalamnya kepada bibirku, kemudian mengusapkan sedikit madu di atasnya untuk memberi efek berkilau. Dia membersihkan permukaan wajahku, menyempurnakan bentuk alisku, perona pada pipiku dan entah apa lagi lainnya, aku tak tahu.
“Darimana sebenarnya asal kalian? Apa kalian dulunya adalah manusia?”
Norxh menjawab pertanyaanku, “Kita semua awalnya memang manusia, nona.”
“Apa yang telah kalian lakukan sehingga kalian bisa mendapat kesempatan menjadi pelayan Hades?”
“Kita pemuja setia Yang Mulia Hades semasa hidup kita, nona. Kita percaya bahwa seharusnya Yang Mulialah yang memimpin semesta ini, dia begitu adil dan rendah hati.”
“Mengapa kau berfikiran semacam itu?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran.
“Oh, nona seharuusnya tahu. Yang Mulia terusir dari Olympus karena ketamakan Zeus. Dia mencurangi saudara saudaranya yang lain saat pembagian kekuasaan. Ia mendapat kekuasaan atas langit dan bumi, tentu saja. Sedangkan Poseidon Yang Agung, mendapat bagian di lautan, samudera luas yang tak berujung. Sedangkan inilah yang di dapatkan Yang Mulia Hades. Underworld.”
“Apa kau yakin kejadiannya semacam itu, Norxh?”
“Begitulah legenda turun temurun yang ada, nona.”
Legendakah namanya bila itu benar benar terjadi? Benarkah itu sosok ayahku yang sebenarnya? Tamak dan haus kekuasaan? Menyengsarakan saudaranya yang lain demi bertahta di Olympus? Setidaknya kini aku tahu satu lagi kepingan informasi mengenai siapa itu Hades.
“Apa Hades sebelumnya pernah jatuh cinta kepada seorang wanita lain?”
“Sepanjang pengetahuan hamba, tak pernah sekali pun Yang Mulia terlihat bersama seorang wanita sebelumnya.” Aida tersenyum, “Nona adalah wanita yang pertama dan terakhir di hati Yang Mulia.”
Aku memerah dan menunduk mendengar jawabannya, Norxh dan Geena tertawa pelan melihat reaksiku.
 Dan ketika semua selesai, aku melihat pantulan diriku di cermin. Wanita yang nampak dibalik cermin itu terlihat begitu anggun dan mempesona. Benarkah itu aku? Tapi aku tak pernah punya bibir semerah ini, pipi yang bersemu dan rambut seindah ini. Bulu mataku hitam dan redup bagai alang alang, lentik melengkung membingkai mata hijauku. Tatanan rambutku membentuk sanggul dengan kepangan kecil mengelilinginya. Beberapa lembar rambutku di biarkan menjuntai di pelipisku hinga ke ujung dagu. Poniku di tatanya dengan rapi dan indah. Rangkaian bunga pun turut menyemarakan rambutku, mawar, jasmine, dan bunga kecil lainnya.
“Ini Bouqet Bunga nona.” Aida memberikanku sebuah bouqet bunga, isinya adalah rangkaian bunga Lily. Hades tahu aku menyukai Lily, dan ia mengingatnya dengan baik. Bahkan pembungkus bouqet bunga ini memiliki warna favoritku, orange lembut, seperti sinar matahari Helios. Aku merasa tersanjung, perhatiannya terhadap setiap detail kecil untukku terasa begitu manis. Dan aku merasa air mataku akan segera mengalir dan aku berusaha mengahadangnya.
“Nona, ada apa?” Geena melihat mataku sedikit berair.
“Ohh, Geena, apakah aku pantas bersama Hades? Aku tahu dia terkadang menjengkelkan, tapi apa aku sejajar dengannya? Aku merasa tak patut berada di sisinya..” aku terus berusaha menghadang air mataku, aku takut aku tak bisa menjalankan kewajibanku sebagai istri dengan baik, apalagi istri dari penguasa underworld, menjadi ratu di dunia kematian ini.
“Ya ampun, nona. Berhentilah menangis,” Norxh terlihat prihatin dan ia menyodorkan selembar kain untukku  menahan laju air mataku agar tidak merusak riasanku.
“Ini adalah sindrom pramenikah, nona. Perasaan ini wajar datang kepada setiap orang yang akan menikah dalam waktu dekat. Terkadang ia menjadi tak percaya kepada kemampuan dan kesetiaan pasangannya, dan bahkan ada pula yang tak percaya pada dirinya sendiri seperti nona ini. Saran hamba, percaya saja kepada takdir, nona. Takdir telah menyuratkan nona untuk menghabiskan keabadian bersama Yang Mulia Hades.”
Aku meresapi kata kata Geena barusan. Memang ada benarnya ucapan Geena, aku telah di takdirkan hidup bersama Hades. Aku harus siap menghadapi berbagai konsekuensi menjadi pasangan hidup dari raja kematian. Kutarik nafas pelan, dan menhembuskannya lewat mulut.
“Ayo, Geena. Aku siap berangkat menuju altar.”
“Jangan lupakan ini nona,” Geena menyodorkan sehelai kain merah tipis untukku. “Wanita Yunani selalu menggunakan cadar merah sebagai penolak kemalangan dan roh-roh jahat saat menikah.”
Aku mengambil kain itu dan memasangnya di wajahku. Aku bersyukur bahan dari cadar ini tipis, sehingga aku tak merasa kesulitan ketika bernafas. Norxh membantuku bangun dari kursi dan kita berjalan ke pintu, menuju ke altar, di mana Hades telah menungguku.
****
To be continued! :)

You May Also Like

0 komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar :)