Underworld (Chapter 8)
Aku
membuka kelambu dan masuk kedalam kenyamanan kasurku. Memejamkan mataku, merasa
dikuasai oleh rasa lelah setelah seharian mendampingi Hades. Lamarannya
berputar di kepalaku berkali kali.
Hades
bukan pria yang baik untuk semua orang. Jiwanya sudah segelap Tartarus,
begitulah kabar burung yang beredar. Tak pernah dia berbelas kasih kepada roh
roh yang datang ke Underworld. Egois
dan tak berperasaan. Dia menculikku, dan menebar pesonanya padaku hingga aku
terjerat. Dan aku tak bisa menghindar dari perangkapnya yang manis ini.
Aku
terus bergelung dalam kasurku, memikirkan matang matang semua pilihan yang ada.
Dan ternyata, yang ada hanyalah tak-ada-pilihan. Memang benar kata Hades, ibuku
jelas akan menolak bila ia datang kepadanya dan mengatakan ingin menikahiku,
tapi itu kan yang selalu di lakukan ibuku kepada setiap pria yang mendekatiku?
Jadi buat apa aku memikirkan pendapat ibuku?
“..Berhentilah
memikirkan pendapat orang lain, bahagiakanlah dirimu sendiri terlebih dahulu”
Kata
kata Hades terngiang di benakku. Selama ini aku bahagia bersama ibuku. Dia
memberi segala yang aku mau, kecuali cinta dari lawan jenis. Ia ingin agar aku
selalu menjadi miliknya. Dan Hades menawarkan kebahagiaan yang aku dambakan
itu, dengan penuh resiko tentu.
Cintakah
aku padanya? Ya, aku mencintainya. Sejujurnya aku bahagia di sini, bersamanya.
Mulut pembualku awalnya mengatakan kalau aku tak yakin aku akan bahagia di
sini. Semakin bergulirnya waktu, aku semakin tak yakin kalau aku tak bisa
bahagia di sini.
Aku
seperti memiliki dua kepribadian dan dua jiwa dalam satu tubuh. Dilema antara
tetap tinggal atau kembali, yang menyiksaku semakin dalam.
“Aku tak akan
membiarkan hal itu terjadi.”
Hades
tak akan membiarkanku menolak lamarannya atau melepaskanku ke upperworld. Membuat harapanku dapat
kembali semakin sempit. Menjalin hubungan dengannya sebagai kekasih tak sesulit
menjadi pengantin abadinya. Haruskah aku korbankan kemerdekaanku atas upperworld demi dapat berdampingan
dengan pria yang aku cintai?
Pintu terketuk saat aku membuka mataku. Ohh, aku langsung terbangun dan merasa bingung sesaat. Aku tertidur saat kepalaku penuh dengan pertanyaan dan pertimbangan, rasanya seluruh ruangan ini berputar di mataku. Aku memejamkan mata, terlihat seakan kunang kunang berhamburan di balik kelopak mataku.
“Siapa
pun yang ada di balik pintu, tunggu sebentar.” Aku berkata pelan, kuharap dia
mendengarnya.
“Baik,
nona.” Suara perempuan tua, oh, pelayan Hades. Mau apa dia ke sini? Aku membuka
mataku, tidak merasa lebih baik. Keringat dingin sedikit mengucur dari dahiku.
“Masuklah,
tolong aku..” Aku berkata lemah. Pusing sekali kepala ini.
Pelayan
itu membuka pintu perlahan dan mauk ke dalam kamar. Aku tak bangkit atau
mengubah posisi tidurku, aku terlalu lemas untuk bangun.
“Nona?
Apakah nona sakit?” Pelayan mendekat ke kasurku, dia terlihat panik dan iba
melihatku. Kunang kunang di mataku satu persatu mulai menghilang.
“Aku
tak tahu, badanku tak begitu nyaman. Aku merasa pusing.”
Dia
menatap wajah pucatku, dan mengangkat tangannya hendak mengukur suhu tubuhku,
“Bolehkah?”
Aku
mengangguk lemah. Dan ia menempelkan tangannya pada dahiku. “Suhu tubuh nona
normal saja. Perlukah hamba buatkan sesuatu untuk menyegarkan nona?”
“Tidak
, itu tidak perlu. Kau boleh pergi, aku hanya kelelahan.”
“Baik,
nona. Sebelumnya hamba hendak menyampaikan pesan dari Yang Mulia, nona ditunggu
di Balkon istana. Tapi apabila nona tak menyanggupinya hamba akan menyampaikan
pesan nona kepada Yang Mulia Raja.”
“Aku
akan ke sana, jangan khawatir. Aku hanya perlu waktu saja. Di mana Balkon
Istana itu?”
“Di
lantai dua istana ini, nona. Di aula terdapat tangga yang akan langsung mengarah
ke Balkon Istana, nona bisa melewatinya.”
“Baiklah.
Kau boleh pergi.”
Pelayan
itu menunduk hormat, berbalik menuju pintu
dan keluar. Aku menyeret kakiku menuju kamar mandi. Aku langsung masuk dan menuju
pancuran. Gemericik airnya menenangkanku.
Aku melepas pakaianku dan berdiri di bawah guyuran air, memisahkan jalinan
rambutku dengan jariku agar tidak kusut.
Aku membersihkan tubuhku selama mungkin, mengulur waktu
agar tak perlu cepat cepat memberi jawaban kepada Hades. Aku menuang minyak
mawar dan mengusapkannya keseluruh tubuh, memijat dan merilekskan tubuhku. Puas
berada di pancuran, aku nelangkah menuju kolam pemandian kecil di sudut kamar
mandi itu. Berendam sejenak tampaknya akan terasa menyenangkan, pikirku. Aku menabur
kelopak Lily putih ke dalam kolam itu
dan aku masuk ke dalamnya. Mataku terpejam menikmati aroma dan kesegaran yang
menyelubungiku. Hilang sudah kunang kunang yang sedari tadi mengikuti bola
mataku.
Dengan memanjakan diri seperti ini aku harap aku bisa
berfikir jernih dan waras -dan berhenti membual- jika bertemu Hades nantinya.
Selesai berendam aku langsung mengeringkan tubuhku. Aku
lilitkan kain panjang ke tubuhku dan aku berjalan keluar ke kamar mandi, hendak
mengambil pakaian baru di lemari. Nampaknya pakaian di sini tak pernah ada
habisnya. Setiap harinya aku mengenakan pakaian yang berbeda beda. Tampaknya
Hades tak menginginkan aku terlihat memakai pakaian yang sama lebih dari
sekali.
Aku sedang menyukai warna putih hari ini, jadi aku pilih
pakaian yang berwarna putih bersemburat merah muda. Ini lebih cocok disebut
gaun ketimbang pakaian sebenarnya. Aku memasukan gan itu ke melalui kepalaku.
Saat aku memutar tubuhku dan bercermin, aku baru sadar kalau bagian punggung
dari gaun itu terdiri dari tali yang harus di serut dan di ikat satu persatu,
terlihat seperti korset yang digunakan manusia perempuan. Bagaimana bisa mereka
mengenakan pakaian ini seorang diri? Dan mengapa mereka terpikir untuk menciptakan
pakaian semacam ini? Menyusahkan diri sendiri saja.
Aku berusaha mengikat tali itu satu persatu seorang diri
ketika pintu terketuk kembali.
“Syukurlah, tolong masuk dan bantu aku mengikat tali gaun
ini!” Aku pikir itu adalah pelayan yang tadi masuk, namun aku salah. Hadeslah
yang mengetuk pintu, ia masuk dengan senyum separonya. Mukaku memerah karena
kesalahan ini dan aku berhenti mengikat tali gaunku.
“Ahh, Hades, maafkan aku, aku kira tadi itu pelayanmu.”
‘Sedang apa kau di sini? Bukankah aku memintamu datang ke
balkon istana?”
“Aku.. sedang menikmati waktuku sebagai perempuan tadi.”
Parasku memerah dan aku menundukan kepalaku. Alis Hades terangkat satu, “Waktu
sebagai perempuan?”
“Ya, aku membersihkan tubuhku dan mengganti pakaianku,
tentu.”
“Aku mengerti. Lalu, apa yang sedang kau lakukan
sekarang?” Hades mengamatiku dan gaunku.
“Berusaha mengenakan gaun ini dengan benar, aku tak mahir
bersolek apa lagi memakai pakaian semewah ini.”
“Lalu kenapa kau memilih pakaian lain yang lebih
sederhana saja?”
“Aku menyukai warna gaun ini.” Aku menjawab dengan
polosnya, dan Hades tersenyum mendengar jawabanku.
“Berbaliklah, aku akan membantumu.”
Aku memutar tubuhku dengan ragu, menggigit bibir bawahku
ketika tangannya mulai mengambil tali gaunku dan menyerutnya. Jemarinya
terkadang menyentuh punggung telanjangku ketika mengambil dan mengikat tali
tali tersebut. Aku memejamkan mata kehijauanku, tanganku menggengam satu sama
lain, aku gugup sekali.
“Hades?” Ohh, syukurlah suaraku terdengar seperti biasa.
“Ya?”
“Hal apa yang biasa kau pikirkan?”
Hades terdiam sesaat, dan kemudian dengan tenangnya
menjawab “Aku memikirkan banyak hal, secara garis besar aku memikirkan Underworld Keadaan berubah banyak
semenjak kau hadir di sini.”
“Apa yang terjadi?”
“Well, aku tak
tahu harus memulainya darimana.”
“Please?”
“Berjanjilah kau tak akan marah padaku saat aku memberi
tahumu.”
“Aku usahakan.”
Sambil terus menyerut tali tali itu, dia menarik nafas, “Jumlah
kematian manusia, makhluk mortal itu, tampaknya semakin meningkat belakangan
ini. Mereka mati dengan keadaan kelaparan dan tanpa uang sekoin pun. Banyak
dari mereka yang akhirnya tak mampu menyeberangi Styx dengan Charon karena
keluarga mereka tak mampu memberi koin kepada orang malang itu. Semua
karena..pepohonan dan ladang manusia di bumi tak dapat tumbuh sebagaimana
mestinya, sebab..well, ibumu menolak untuk
menumbuhkan mereka semua.”
Mataku
membulat, “Bagaimana bisa? Mengapa hal itu bisa sampai terjadi?”
“Karena
aku mencurimu darinya, dan ia sangat murka. Kupikir kini ia sudah tahu siapa
yang membawa pergi putri kesayangannya.”
“Bagaimana
dia tahu?”
“Dia
pasti sudah menanyakannya pada Helios, Dewa Tua itu melihat segalanya dari
kereta kencananya di atas langit sana.”
“Helios
melihatmu mencul..em, membawaku ke Underworld?”
“Tentu
saja.” Dia tertawa pelan, tawa yang penuh ironi.
“Jadi,
kini kau mengalami..lonjakan penghuni
underworld?”
“Secara
teknis, Ya.”
“Apa
itu mengganggumu?”
“Tidak,
walau hal ini baru pernah terjadi sepanjang eksistensiku di dunia ini.”
Gerakan
tangannya berhenti, rupanya dia telah selesai mengikat gaunku.
“Kau
terlihat..menantang, dengan gaun seperti ini.”
Aku
menyentuh bagian belakang gaunku, dan aku paham dengan apa yang ia katakan.
Punggungku terpampang polos, hanya tertutupi jalinan tali yang ada sampai batas
pinggang. Aku merasa pipiku memerah karena ucapannya.
“Jangan
berpikir tidak senonoh, Hades.”
“Aku
hanya memujimu, apakah itu menyinggungmu?”
“Tidak,
aku hanya tak terbiasa dengan pujian semacam itu.”
“Kalau
begitu kau harus membiasakannya, karena aku akan sering melakukannya.”
Aku
memutar bola mataku, “Sepertinya akan sangat mengasyikan.”
“Kau
memutar bola matamu, aku tahu.”
Aku
memutar tubuhku, menghadapnnya dan mengangkat sebelah alisku, “Bagaimana kau
bisa tahu?”
Dia
tak menjawab, hanya tersenyum separo dan menyentuh daguku dengan ujung jarinya.
Wajahku terangkat sedikit dan membuat mataku terpancang pada tatapannya yang
membuat sendiku seakan terlepas dari tempatnya.
“Segalanya
tentangmu telah terekam di sini,” dia mengetuk pelipisnya dengan ujung jarinya
yang lain. Aku tersenyum mendengarnya.
“Jadi,
bagaimana kabar soal lamaranku, nona?”
“Mengapa
kau menanyakannya?”
“Mengapa
aku menanyakannya?” Nadanya setengah tak percaya, sedikit terluka. “Aku
melamarmu kemarin, dan kau meminta waktu sampai hari ini. Kenapa aku tak boleh
menanyakan jawabanmu padahal batas waktu yang di tentukan telah habis?”
“Kau
tahu bagaimana aku akan menjawabnya.”
“Aku
ingin mendengarnya langsung dari bibirmu.” Matanya berkilat.
“Hades,
aku menerima lamaranmu.”
“Hanya
itu saja?” Dia menatapku dengan matanya yang membulat.
“Ya,
apa lagi yang kau harapkan dari jawabanku?”
“Tidak,
itu saja sudah cukup.” Hades tersenyum lebar untuk pertama kalinya. “Bagaimana
pun cara kau menjawab lamaranku, tetap saja kita akan menikah.”
“Baiklah,
itu terserah padamu.”
“Kalau
begitu, lekas kau tukar pakaianmu dengan gaun ini.”
Dia
mengeluarkan sapu tangan putih gading dari jubahnya. Dia menyentuhkan tangannya kepada sapu tangan
itu, dan sapu tangan itu membesar, jalinan benang yang hampir tak terlihat
menyulam sapu tangan itu. Ketika semua selesai, yang kini terpampang di
hadapanku bukanlah sebuah sapu tangan biasa milik Hades.
Ini
sebuah gaun pernikahan.
Masih
berwarna putih gading dan di hiasi berbagai ornamen, sulaman benang emas, dan
renda lembut yang menempel pada bagian pinggang. Ekor gaun itu terlihat cukup
panjang, mungkin aku akan nampak seperti bintang jatuh di langit karena ekor
itu. Tapi aku lebih khawatir akan menginjak gaunku sendiri ketimbang memikirkan
terlihat seperti apa aku ini. Apakah Hades tak memikirkan ini sebelumnya?
Seperti biasa, tentu.
“Mengapa
aku harus mengganti pakaianku dengan gaun ini sekarang? Bukankah kita akan
merencanakan waktu pernikahan dulu?”
Aku
mendekat kearahnya dan menyentuhkan tanganku pada gaun itu. Sutra, dan chifon. Favorit Hades untuk tubuhku.
“Ahh,
kau benar. Perencanaan waktu belum kita bahas. Dan aku merencanakan pernikahan
kita akan berlangsung dua jam kedepan.”
Aku
merasa mulutku ternganga lebar mendengar jawabannya.
“Apa
kau sudah gila?”
“Tidak.”
“Sinting?”
Dia
mendengus dan tertawa pelan, “Apalagi.”
“Tapi
kau mengajakku menikah dua jam lagi!” Aku histeris dan mengerang pelan.
Menyebalkan, dia hanya melihatku dan tertawa.
“Aku
tak dapat menunggu lebih lama lagi untuk memilikimu sepenuhnya. Dua jam itu
sangat lama untukku.” Hades menjentikan jarinya, dan tiga pelayan hadir di
depan pintu kamarku.
“Kau.
Lekas tukar pakaianmu, mereka akan mendandanimu.” Ia memberi gaun itu kepadaku.
“Dan
kau?”
“Menantimu
di altar. Balkon istana. Dua jam lagi. Dan jangan coba menghindar lagi.” Ia
mengingatkanku dengan pelan.
“Baiklah.”
Aku menghembuskan nafas. Kehendak Hades tak pernah dapat di ganggu gugat. Dia
mencondongkan tubuhnya dan menempelkan bibirnya pada dahiku.
“Sampai
nanti, pengantinku.” Dia tersenyum
menggodaku, dan aku mengerang mendengar julukan itu.
Setelah
Hades keluar, ketiga pelayan itu masuk dan mereka semua membungkuk hormat
kepadaku, aku mengangguk kepada mereka.
“Nona,
kita yang akan membantu nona bersiap siap. Hamba adalah Geena, ini Norxh, dan
ia adalah Aida. Apakah nona ingin membersihkan diri terlebih dahulu?” Salah
satu pelayan memperkenalkan dirinya dan kawannya padaku.
“Tidak,
aku sudah membersihkan diriku tadi, Geena. Kita bisa langsung mulai.”
Aku
menukar pakaianku secepat mungkin, pakaian ini lumayan berat karena berbagai
intan terjalin di beberapa bagian. Dan ternyata benar saja, ekor gaun ini
panjangnya lebih dari satu rentangan tangan orang dewasa. Aku mencebikan
bibirku melihat gaun ini. Indah, tapi terlalu mewah.
“Nona
terlihat cantik, gaun ini cocok sekali untuk nona,” Aida memujiku dengan nada
kagum yang nyata.
“Gaun
ini membuatku terlihat sangat kurus dan pucat, aku bahkan tak sanggup melihat
diriku sendiri.” Lagi lagi krisis kepercayaan diri melandaku. Aku selalu
terlihat kurus dan putih pucat. Hanya rambut cokelat tembagakulah yang sedikit
memperbaiki penampilanku, lembut dan berkilau.
“Tidak
nona, tubuh nona sudah sangat proporsional. Kita tidak akan membiarkan nona
terlihat buruk di hari pernikahan nona. Mari, kita mulai.”
Aku
berjalan dan duduk di depan meja riasku. Norxh mulai menyentuh rambutku,
mengurainya perlahan lahan tapi pasti. Terlihat di cermin dia terlihat begitu
serius membentuk tatanan rambut untukku.
Sedangkan
Aida sibuk membersihkan kuku kuku jari dan kakiku. Dia berusaha melengkungkan
ujung jariku, dan hasilnya memang tidaklah mengecewakan. Semua kuku di jari dan
kakiku menjadi bersih dan terlihat lentik, terlebih lagi dia memberi pewarna
merah kepada semua kukuku.
Geena,
memoles wajahku, memberi wajahku berbagai perona. Dia membelah biji buah pinang
dan mengoleskan bagian dalamnya kepada bibirku, kemudian mengusapkan sedikit
madu di atasnya untuk memberi efek berkilau. Dia membersihkan permukaan
wajahku, menyempurnakan bentuk alisku, perona pada pipiku dan entah apa lagi
lainnya, aku tak tahu.
“Darimana
sebenarnya asal kalian? Apa kalian dulunya adalah manusia?”
Norxh
menjawab pertanyaanku, “Kita semua awalnya memang manusia, nona.”
“Apa
yang telah kalian lakukan sehingga kalian bisa mendapat kesempatan menjadi
pelayan Hades?”
“Kita
pemuja setia Yang Mulia Hades semasa hidup kita, nona. Kita percaya bahwa
seharusnya Yang Mulialah yang memimpin semesta ini, dia begitu adil dan rendah
hati.”
“Mengapa
kau berfikiran semacam itu?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran.
“Oh,
nona seharuusnya tahu. Yang Mulia terusir dari Olympus karena ketamakan Zeus.
Dia mencurangi saudara saudaranya yang lain saat pembagian kekuasaan. Ia
mendapat kekuasaan atas langit dan bumi, tentu saja. Sedangkan Poseidon Yang
Agung, mendapat bagian di lautan, samudera luas yang tak berujung. Sedangkan
inilah yang di dapatkan Yang Mulia Hades.
Underworld.”
“Apa
kau yakin kejadiannya semacam itu, Norxh?”
“Begitulah
legenda turun temurun yang ada, nona.”
Legendakah
namanya bila itu benar benar terjadi? Benarkah itu sosok ayahku yang
sebenarnya? Tamak dan haus kekuasaan? Menyengsarakan saudaranya yang lain demi
bertahta di Olympus? Setidaknya kini aku tahu satu lagi kepingan informasi
mengenai siapa itu Hades.
“Apa
Hades sebelumnya pernah jatuh cinta kepada seorang wanita lain?”
“Sepanjang
pengetahuan hamba, tak pernah sekali pun Yang Mulia terlihat bersama seorang
wanita sebelumnya.” Aida tersenyum, “Nona adalah wanita yang pertama dan
terakhir di hati Yang Mulia.”
Aku
memerah dan menunduk mendengar jawabannya, Norxh dan Geena tertawa pelan
melihat reaksiku.
Dan ketika semua selesai, aku melihat pantulan
diriku di cermin. Wanita yang nampak dibalik cermin itu terlihat begitu anggun
dan mempesona. Benarkah itu aku? Tapi aku tak pernah punya bibir semerah ini,
pipi yang bersemu dan rambut seindah ini. Bulu mataku hitam dan redup bagai
alang alang, lentik melengkung membingkai mata hijauku. Tatanan rambutku
membentuk sanggul dengan kepangan kecil mengelilinginya. Beberapa lembar rambutku
di biarkan menjuntai di pelipisku hinga ke ujung dagu. Poniku di tatanya dengan
rapi dan indah. Rangkaian bunga pun turut menyemarakan rambutku, mawar,
jasmine, dan bunga kecil lainnya.
“Ini Bouqet Bunga
nona.” Aida memberikanku sebuah bouqet bunga, isinya adalah rangkaian bunga Lily. Hades tahu aku menyukai Lily, dan ia mengingatnya dengan baik.
Bahkan pembungkus bouqet bunga ini memiliki warna favoritku, orange lembut,
seperti sinar matahari Helios. Aku merasa tersanjung, perhatiannya terhadap
setiap detail kecil untukku terasa begitu manis. Dan aku merasa air mataku akan
segera mengalir dan aku berusaha mengahadangnya.
“Nona, ada apa?”
Geena melihat mataku sedikit berair.
“Ohh, Geena, apakah
aku pantas bersama Hades? Aku tahu dia terkadang menjengkelkan, tapi apa aku
sejajar dengannya? Aku merasa tak patut berada di sisinya..” aku terus berusaha
menghadang air mataku, aku takut aku tak bisa menjalankan kewajibanku sebagai
istri dengan baik, apalagi istri dari penguasa underworld, menjadi ratu di dunia kematian ini.
“Ya ampun, nona.
Berhentilah menangis,” Norxh terlihat prihatin dan ia menyodorkan selembar kain
untukku menahan laju air mataku agar
tidak merusak riasanku.
“Ini
adalah sindrom pramenikah, nona. Perasaan ini wajar datang kepada setiap orang
yang akan menikah dalam waktu dekat. Terkadang ia menjadi tak percaya kepada
kemampuan dan kesetiaan pasangannya, dan bahkan ada pula yang tak percaya pada
dirinya sendiri seperti nona ini. Saran hamba, percaya saja kepada takdir,
nona. Takdir telah menyuratkan nona untuk menghabiskan keabadian bersama Yang
Mulia Hades.”
Aku
meresapi kata kata Geena barusan. Memang ada benarnya ucapan Geena, aku telah
di takdirkan hidup bersama Hades. Aku harus siap menghadapi berbagai
konsekuensi menjadi pasangan hidup dari raja kematian. Kutarik nafas pelan, dan
menhembuskannya lewat mulut.
“Ayo,
Geena. Aku siap berangkat menuju altar.”
“Jangan
lupakan ini nona,” Geena menyodorkan sehelai kain merah tipis untukku. “Wanita
Yunani selalu menggunakan cadar merah sebagai penolak kemalangan dan roh-roh
jahat saat menikah.”
Aku
mengambil kain itu dan memasangnya di wajahku. Aku bersyukur bahan dari cadar
ini tipis, sehingga aku tak merasa kesulitan ketika bernafas. Norxh membantuku
bangun dari kursi dan kita berjalan ke pintu, menuju ke altar, di mana Hades
telah menungguku.
****
To be continued! :)
0 komentar
Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar :)